17. Tentang Ropang dan Bulan

979 171 43
                                    

          Seraya berkacak pinggang―lengkap dengan ekspresi yang siap terkam orang―Riki berjalan mengentak-entak kaki menuju ke ruang tengah rumah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

          Seraya berkacak pinggang―lengkap dengan ekspresi yang siap terkam orang―Riki berjalan mengentak-entak kaki menuju ke ruang tengah rumah. Seingatnya, tadi ia berpesan pada abang-abangnya untuk menyisakan roti panggang rasa cokelat untuk dimakan sepulang main gim dengan teman-teman kompleknya nanti. Tapi sesampainya ia di rumah, banyak bungkus ropang yang sudah dibuang ke tong sampah sementara di meja makan enggak terlihat ada sisa ropang untuk dirinya. Anak itu memberengut, menyalak marah ke arah Jafar yang mencetuskan ide beli ropang lantaran sepertinya abangnya tersebut kelupaan membelikan satu untuknya.

Dengan bersungut-sungut, Riki menukas, "ABANG!!! Ropang Adek mana?! Tadi 'kan udah bilang, Adek mau satu yang rasa cokelat!"

"Oh, tadi kamu mau juga? Habis kamu enggak di rumah, sih, ya udah Abang cuma beli enam."

Mendengar sahutan Jafar yang di luar dugaan, beberapa dari mereka menatap tegang, tapi Jovan dan Sano sanggup terkikik geli padahal tahu jika Riki pasti ngamuk setelah ini. Enggak butuh semenit, airmuka si bungsu kontan berubah. Kacak di pinggangnya kian terangkat tinggi, selagi mulut sudah siap menumpahkan segala kekesalan.

Dalam dua detik kemudian, suara Riki terdengar begitu nyaring saat berteriak, bahkan suara televisi yang mereka tonton menjadi kalah kencang, "ABANG JAHAT BANGET, PILIH KASIH, ENGGAK PERNAH BAIK SAMA ADEK!!! KATANYA MAU AJAK ADEK KE BULAN, BELIIN ROPANG AJA ENGGAK MAU. HUEEE... ADEK JUGA MAU ROPANG!!!"

Semua orang yang tengah menonton film aksi dari platform streaming online malam itu, mendadak menutup telinga menggunakan kedua tangan dengan serentak. Mereka takut jika terjadi kerusakan pada saraf telinga kalau-kalau terlalu banyak mendengar lengkingan suara Riki yang tengah merengek―kini bahkan sambil memukul-mukul lengan sofa karena makin emosi. Polusi suara tersebut baru mereda ketika si bungsu memutuskan untuk berlari memasuki kamarnya. Sudah bisa dipastikan, sih, ia akan menangis nanti ... atau mungkin enggak juga?

Setelah pintu kamar dibanting cukup keras, Riki beringsut ke ranjang dan mengempaskan bokong dengan serampangan. Tangannya menyilang di depan dada dengan mulut masih berkomat-kamit menyalahkan abangnya. Tapi hal tersebut enggak berlangsung lama karena ekor matanya tahu-tahu menangkap siluet bungkus ropang yang terpapar lampu di atas meja belajarnya.

Masih utuh; rotinya dipanggang hingga berwarna kecokelatan dan dibagian ujung diolesi dengan selai cokelat yang tampak lezat. Bau gurihnya bahkan tercium sampai ke hidung Riki, membuat anak lelaki itu merasa bersalah pada abangnya karena sudah marah-marah tadi. Ternyata Jafar enggak benar-benar jahat, kok. Ia adalah abang terbaik bagi Riki kini.

Anak tersebut lantas berjalan mendekati sang roti pujaan, meraih karton pendek yang membungkus setengah bagiannya, dan nyaris melahapnya sekaligus. Namun, niat tersebut lekas terhenti saat jemarinya dirambati beberapa ekor semut hingga jumlahnya menjadi lebih banyak. Riki mengibaskan tangannya, tapi sebelah yang lain turut pula dirambati dengan begitu brutal. Ia lantas menyadari kalau ropangnya telah dijejali oleh ratusan semut yang tampaknya sudah kekenyangan dan beberapa bahkan menempel pada selai cokelat di atas rotinya.

BUNGSUWhere stories live. Discover now