12. Pelihara Bunglon

928 168 13
                                    

          Baru saja terbangun beberapa belas menit yang lalu, Hesa tersenyum senang selagi menenggak habis segelas penuh susu yang baru dituangnya dari kotak di dalam kulkas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

          Baru saja terbangun beberapa belas menit yang lalu, Hesa tersenyum senang selagi menenggak habis segelas penuh susu yang baru dituangnya dari kotak di dalam kulkas. Cowok itu bukannya kerasukan di pagi setengah siang begini, ia hanya merasa agak tenteram karena seluruh saudaranya sudah pergi ke sekolah dan menyisakannya sendirian di rumah. Libur semester pertama sudah usai, dan jika mereka telah kembali beraktifitas di sekolah, giliran Hesa yang mendapat libur setelah ujiannya berakhir. Hari tenang, batinnya.

Tapi sekali lagi, enggak ada hari tenang di dalam sejarah kediaman Papi Vik hingga usia Hesa beranjak dua puluh dua tahun. Baru saja ia merebah di atas sofa, menyilangkan kaki di udara, dan menyalakan saluran televisi streaming dengan logo N berwarna merah terang, tubuh Hesa tahu-tahu terlompat saat lengkingan suara si bungsu menyeruak memasuki rumah.

"Pulang pagi, senang sekali!" pekiknya sembari melompat-lompat.

Hesa menghela pendek, terduduk jengah. Ia lupa jika hari pertama sekolah di semester baru, mereka pasti akan pulang lebih pagi. Dan di sana Riki sekarang, setelah melepas sepatunya, anak itu berjalan girang memasuki rumah. Lantas, ketika mendapati Hesa terduduk di depan televisi dengan wajah agak masam, pekikan demi pekikan terdengar makin kencang.

"Bang Hesa! Bang Hesa! Bang Hesa!" serunya, sekonyong-konyong berlari mendekati abangnya.

Hesa hanya mendecak ketika tubuhnya diguncang agak keras dari samping. "Apa, sih, Ki? Bicara pelan-pelan, Abang enggak tuli," balasnya sebal karena merasa telinganya mulai pengang.

Tapi sepertinya, Riki enggak mengindahkan. Ia tetap berkata dengan suara keras padahal abangnya sudah berada di depannya, "Abang! Adek mau pelihara bunglon, dong!"

Sontak saja si abang melotot keheranan. "Kepalamu baru kejedot pintu? Atau barangkali portal depan komplek? Apa-apaan, sih, tiba-tiba mau pelihara bunglon?" kata Hesa panik. Dari sekian jenis hewan, ia memang paling takut pada reptil—dalam bentuk apa pun itu, Hesa enggak ingin ada hewan berjenis serupa tinggal di rumah bersama-sama mereka. Membayangkan sewaktu-waktu mereka bisa saja terlepas, sudah mengakibatkan bulu kuduknya meremang sepintas. Enggak boleh! Jangan sampai Riki bawa-bawa seekor reptil ke rumah dengan dalih mau memeliharanya. Tsk, anak itu pasti enggak akan bisa merawatnya dengan baik.

"Lucu tau, Bang, bunglon. Warnanya bisa berubah-berubah gitu, Adek mau pelihara satu!"

"Enggak!" Hesa bersikeras. "Papi 'kan udah pernah bilang, jangan pelihara hewan kalau kita enggak bisa merawatnya. Emang kamu tahu caranya merawat bunglon?"

Riki merogoh tas bagian depan, menarik keluar ponselnya dari sana. Anak itu lantas mengaktifkan google speech dan berujar, "Cara merawat bunglon." Bunyi ting pelan, disusul suara mbak-mbak setengah robot yang menjelaskan step-step memelihara bunglon dengan baik, terdengar sampai ke telinga Hesa. Riki menyodorkan ponselnya ke hadapan si abang, berkata dengan antusias, "Nih, semuanya ada di sini, Bang. Tinggal siapin kandang terus kasih makan. Selesai."

BUNGSUWhere stories live. Discover now