25. Salah Membagi Keluh

855 148 16
                                    

          Memandang lelah gumpalan awan hitam yang mengisi sepenjuru langit sore ini, Hesa mengembuskan napas berat selagi menyandar duduk di kursi beranda

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

          Memandang lelah gumpalan awan hitam yang mengisi sepenjuru langit sore ini, Hesa mengembuskan napas berat selagi menyandar duduk di kursi beranda. Kalau beberapa waktu lalu ada Sergin yang menemaninya mengobrol sekaligus membagi keluh dan mencetuskan sebuah ide brilian sebagai penutup tahun, kini cowok itu bahkan enggak terlihat ada di rumah. Sudah seminggu belakangan ini, jadwal latihannya semakin padat lantaran kejuaraan nasional kian dekat. Membuat mereka jarang bertemu kecuali saat malam tiba.

Jafar dan Jendra juga tengah tak berada di rumah. Keduanya meminta izin pada Hesa siang tadi untuk bertemu teman-teman setongkrongannya sekalian membahas acara perpisahan kelas dua belas nanti akan menampilkan apa. Harusnya Sergin juga ikut pada rapat anak-anak keren SMA Catrawastu tersebut kalau enggak sedang berhalangan, sebab ketiga bersaudara itu—meskipun berbeda tingkat—merupakan anggota dari beberapa ekstrakulikuler terkenal seperti Musik dan Penyiaran.

Hanya tersisa trio bontot yang berada di rumah, dan Hesa enggak berharap satu atau bahkan ketiganya mengusik sedikit ketenangan pada hampir penghujung hari tersebut. Ia ingin sedikit merenung, berpikir dengan tenang, dan mencari jalan keluar terbaik sebelum membicarakan hal-hal yang mengganggunya dua hari belakangan pada orang tua mereka. Bagaimanapun juga, kini tanggung jawabnya bukan hanya terhadap diri sendiri, melainkan banyak orang.

Setengah jam berlalu dengan ketegangan dan kerancuan yang sama, Hesa tahu-tahu menemukan sosok Riki duduk di sebelahnya entah sejak kapan. Anak bontot itu memandang lurus ke arah pandangan Hesa lengkap dengan menirukan cara abangnya tersebut duduk, bagaimana ia melipat tangannya di depan dada, pun ekspresi wajahnya yang tengah berpikir keras.

Melihatnya, Hesa hanya menghela napas sembari tersenyum tak habis pikir. Sejak kapan anak ini duduk di sini dan menirukannya begini?

"Kamu ngapain?" tanya Hesa yang sontak membuat Riki sedikit terlompat dalam duduknya.

"Abang ngagetin aja."

"Kamu yang ngagetin," sahut Hesa. "Tiba-tiba duduk di sini, enggak ada suara, niruin Abang pula."

"Habisnya Abang kelihatan serius banget ngelihat mendung tanpo udan-nya."

"Jangan mulai dangdut, deh!" Hesa mendecak. "Kenapa? Kamu perlu sesuatu, Ki?"

"Enggak, kok, Adek lagi gabut aja. Males banget main gim sama Jovan, kalah mulu."

"Gim teroooosss!" Nada suara Hesa meninggi, yang membuat Riki hanya nyengir lebar. Anak itu tampak menyandar di kursinya, kali ini kedua kaki dinaikkan ke atas kursi, ditekuk dengan posisi nongkrong. Tubuhnya mencondong, bertumpu sebelah tangan di atas lututnya dan menilik si abang lekat-lekat.

Matanya mengerjap-ngerjap beberapa kali, kemudian bertanya setelah cukup lama, "Abang lagi galau lagi, ya? Cewek yang waktu itu masih nolak Abang, ya?"

"Enggak! Ngawur kamu!" seru Hesa.

BUNGSUWhere stories live. Discover now