18. Lomba Melukis

904 169 17
                                    

          Hari Minggu itu wajib bangun siang, begitu prinsip Riki selama ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Hari Minggu itu wajib bangun siang, begitu prinsip Riki selama ini. Tapi jika pada hari sebelumnya sudah diultimatum oleh guru kesenian di sekolahnya untuk mengikuti sebuah perlombaan, mau tak mau Riki akhirnya bangun pagi juga. Pukul tujuh tepat, anak itu sudah bersiap mengenakan baju bebas rapi, dan duduk tenang di ruang tamu―menunggu Hesa dan Sergin selesai bersiap dan mengantarnya ke tempat perlombaan.

Sebetulnya, hanya Sergin yang diminta Riki untuk mengantarnya karena entah kenapa anak itu sedang lengket dengan si abang akhir-akhir ini. Hanya saja, Hesa enggak tega membiarkan dua anak ini bepergian menggunakan motor ke tempat lomba yang membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai ke sana. Maka ia akhirnya menawarkan diri mengantarkan meskipun semalam baru manggung hingga pukul dua belas malam.

"Abang kalau masih ngantuk, biar aku aja yang ngaterin Riki. Nanti malah bahaya kalau berkendara pas lagi ngantuk," ujar Sergin dari ambang pintu kamar Hesa.

Si abang hanya tersenyum sebelum membalas kalem, "Enggak apa-apa, Gin. Untung semalem bisa langsung tidur setelah pulang, jadi paginya udah fresh lagi. Lagian, musim hujan gini nanti pulangnya malah kuyup kalian."

Sergin lantas menghela pasrah. Apa yang diucapkan Hesa memang ada benarnya, kasian juga Riki nanti kalau pulang-pulang kehujanan. Biarpun ketika berangkat tengah terik, tapi cuaca di akhir bulan Nopember ini enggak pernah bisa ditebak. Beruntung kalau memang enggak hujan, tapi kalau betulan hujan bagaimana?

Setelah menyandang waist bag melintang ke bahunya, Hesa menyambar kunci mobil di atas nakas dan berjalan keluar kamar. Ia menepuk bahu Sergin sekali sembari berucap, "Yuk, nanti kalau telat bisa mencak-mencak si bos kecil."

Sergin terkekeh, buru-buru mengikuti Hesa berjalan menuju ruang tamu rumah mereka. Riki masih duduk diam di sana, meski enggak berkata apa-apa, tapi Hesa dan Sergin tahu jika si anak sudah tampak bete. Bibirnya mengerucut, hampir sama panjang dengan hidungnya. Dan hal itu sukses membuat kedua abangnya tersebut malah tersenyum geli melihatnya.

"Bibirmu itu lho bisa sampai dikuncir kayaknya, Ki," komentar Sergin dan dibalas picingan tajam oleh Riki.

"Lama banget, sih, Bang?! Nanti Adek telat ke tempat lomba, nih!" cerca si bungsu. Ia bergegas bangun dari tempat duduknya dan menyeret lengan Hesa serta Sergin menuju garasi rumah.

"Aden, bekalnya!" Mbak Dera sontak lari terbirit-birit menyusul ketiganya dengan membawa kotak bekal karena mereka enggak mungkin sempat sarapan di rumah. Jadi, selesai mandi tadi Hesa minta pada si mbak untuk dibekalkan saja biar nanti bisa dimakan saat di perjalanan.

Sergin yang kemudian menerima kotak bekal tersebut dan mengatakan "Terima kasih banyak" pada Mbak Dera. Perempuan itu lantas masuk ke dalam lagi setelah mobil Hesa berjalan meninggalkan pelataran rumah.

"Makan dulu, Ki," ujar Sergin, mengangsurkan kotak bekal ke kursi penumpang depan.

Riki menerimanya dengan hati gembira karena isi kotak bekal yang sesuai dengan seleranya; udang sambal hijau yang selalu menjadi favorit sepanjang masa. Meskipun rasanya pasti sedikit berbeda jika bukan Mami yang masak, seenggaknya masakan Mbak Dera juga tak kalah enak. Di samping lauk itu, ada potongan sayur-mayur yang dimasak menjadi cap cai, seketika membuat Riki menggeliat tak suka. Ia melirik pada Sergin yang duduk di belakang, berkata memelas, "Abang yang makan sayurnya, ya?"

BUNGSUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang