16. Tabrak Lari

1.4K 187 33
                                    

          Siang terik di hari Sabtu itu menjadi ancaman setiap umat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

          Siang terik di hari Sabtu itu menjadi ancaman setiap umat. Pendar matahari seolah-olah tengah bercokol tepat di atas kepala, membuat jalanan tampak lenggang tanpa lalu-lalang, karena siapa juga yang mau berkeliaran saat suhu nyaris mencapai 34 derajat begini? Sesosok yang tampak menantang cuaca panas di hari itu cuma Riki dengan sepeda ontelnya yang melaju secepat angin untuk segera tiba di rumah. Wajahnya pucat pasi, keringat mengalir deras dari pelipisnya; meluncur jatuh melewati leher, sampai membuat kaus abu-abu yang dikenakan terlihat setengah basah.

Kerikil tajam yang mencuat di tengah jalan dan berusaha menghalangi perjalanannya, tergilas ban sepeda begitu saja tanpa mengalami oleng. Mungkin lantaran saking cepatnya sepeda tersebut melaju, kerikilnya justru terpelanting menjauh dan menghantam pagar rumah lain hingga menimbulkan bunyi klang dengan cukup keras. Tapi Riki enggak terusik sama sekali, fokusnya cuma satu, yaitu tiba di rumahnya dengan segera.

Decit rem yang ditarik kuat, menjadi satu-satunya suara bising yang terdengar siang itu. Dengan napas yang ngos-ngosan, si bungsu membawa sepedanya masuk ke garasi, sementara setelah itu ia duduk termenung di beranda seorang diri. Sesekali, terdapat angin yang berembus melewatinya, tapi hal itu sama sekali enggak menyurutkan aliran keringat yang terus membanjiri sisi-sisi wajahnya. Pun ia masih tampak pucat seperti baru saja mengalami mimpi yang begitu buruk.

Entah apa yang baru terjadi dengan Riki.

Siang itu, enggak ada yang bisa tidur siang dengan nyaman karena cuaca panas yang terjadi. Para abang memilih untuk berkumpul di ruang tengah sambil main PS ditemani AC yang terus menyala. Ada seteko penuh es teh manis yang turut pula menjadi kudapan wajib ketika main apalagi cuaca tengah betul-betul terik begini. Dan kalau saja Nolasano enggak tahu-tahu berjalan ke depan―hanya untuk mengecek pesanan camilan mereka sudah diantarkan oleh tukang ojek atau belum―mungkin sampai sore, enggak ada yang akan melihat Riki duduk sendirian di beranda sambil melulu terbengong-bengong.

"ASTAGA, RIKI!!!" Sano memekik usai menemukan adiknya tersebut. Ia sudah nyaris mengomel dan marah-marah karena Riki membuat jantungnya hampir melompat keluar. Tapi Sano mengurungkannya sebab Riki enggak bergerak sama sekali, padahal biasanya ia akan balas berteriak jika diteriaki. Sano akhirnya mendekat, menjenggut kepala Riki sekali. "Heh! Diam aja kayak patung. Kamu kenapa duduk di sini sendirian?"

Enggak terdengar jawaban yang menyahuti pertanyaan tersebut. Riki bergeming, benar-benar diam seperti patung yang disinggung oleh Sano. Sekejap, cowok empat belas tahun itu berjalan mundur dengan bulu kuduk yang meremang.

Ya ampun, jangan-jangan Riki kesurupan?

Sano bergidik, tapi dengan nyali yang tinggal secuil, ia berusaha kembali menyentuh pipi Riki dengan ujung jari telunjuknya. "Ki? Kamu kenapa diam aja, deh? Kamu enggak kerasukan setan 'kan? Kamu enggak main ke tempat angker 'kan tadi?" tanya Sano, tapi lagi-lagi enggak ada jawaban yang terdengar.

Sano menatap cemberut, kecemasan mulai menyelusup penuh pada dirinya dengan perasaan takut jika adiknya sungguh-sungguh dirasuki sesosok makhluk supranatural. Ia lantas mundur perlahan-lahan. Dengan kakinya yang sudah agak lemas, Sano berlari terbirit-birit ke dalam sambil berteriak, "ABANG!! RIKI KERASUKAN SETAN!!!"

BUNGSUWhere stories live. Discover now