06. Pertandingan Sepak Bola

1.3K 228 24
                                    

          Dari tujuh bersaudara, Najendra akan selalu bangun paling pagi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

          Dari tujuh bersaudara, Najendra akan selalu bangun paling pagi. Rutinitasnya setelah bangun, pasti akan langsung berolahraga di halaman belakang menggunakan alat-alat seadanya―kadang memakai barbel, enggak jarang juga pakai skipping, dan seringnya cuma push-up atau sit-up saja. Ya, meskipun olahraga yang ringan, tapi pasti sukses bikin keringatan. Ia selalu menjaga rutinitas itu setiap hari. Bahkan kalau sedang enggak diserang rasa malas, Jafar dan Sergin pun ikut menemani.

Namun pagi ini, ia agak terlambat bangun lantaran semalam diajak begadang nonton bola sama Hesa, Jafar, dan Sergin. Padahal, ia sudah janji mau mengantar Riki pergi untuk melakukan pertandingan persahabatan di stadion yang terletak di pusat kota. Perjalanan dari rumahnya memakan waktu satu jam, dan mereka harus berkumpul di sekolah Riki dalam lima belas menit lagi.

Jendra berderap masuk ke kamar Riki tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Ia pikir, sudah enggak sempat kalau harus berbasa-basi, lagipula anaknya juga masih tertidur pulas seolah-olah enggak ada acara penting pagi ini. Buru-buru, cowok itu mengguncang tubuh adiknya agak keras. Setengah berteriak ketika berujar, "Adek, ayo bangun! Katanya mau tanding bola hari ini."

Bergumam enggak jelas, Riki malah memutar posisi dan membelakangi abangnya. Ia lanjut tidur sambil mendekap guling erat-erat, enggak mau diganggu di minggu pagi yang cerah ini.

Tapi Jendra enggak menyerah begitu saja. Ia mengitari ranjang Riki, kembali berdiri di hadapan anak itu. Sebelah tangan menepuk-nepuk pipinya, dirasa itu belum juga berhasil membangunkan si bungsu, Jendra kembali mengguncangnya dengan keras dan berucap cukup lantang, "Adek, bangun! Kita kumpul di sekolahan lima belas menit lagi―oh, tinggal sepuluh menit, tuh! Kalau enggak bangun, kita ketinggalan bus nanti! Ayo, bangun!"

Seperti kalimat sihir, tak lama, mata Riki sukses membelalak terbuka. Ia terduduk dengan ekspresi datar, setengah berpikir dan mengumpulkan kesadaran, anak bontot itu lantas melompat turun dari ranjang begitu menyadari kalimat kedua Jendra bahwa waktu kumpul kurang sepuluh menit lagi.

Enggak ada waktu, Riki cuma pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci muka. Dalam dua setengah menit saja, ia akhirnya keluar dan mengenakan pakaiannya yang―untungnya―sudah dipersiapkan sejak semalam. Ia bergegas memasukkan sepatu bola, kaos kaki, dan deker pelindung ke dalam ranselnya, kemudian berlari menuju pintu depan di mana Jendra sudah bersiap di sana.

"Bang Hesa, kita berangkat dulu!" teriak Jendra dari pintu depan saat Hesa tampak keluar dari kamar untuk mengambil minum. Lelaki tertua di rumah itu nyaris saja tersedak ketika bergegas untuk menyusul mereka ke depan, tapi kedua adiknya sudah melesat pergi dengan cepat.

Hesa akhirnya cuma bisa melambaikan tangan dari gerbang sembari berteriak, "Semoga menang hari ini! Nanti Abang nyusul sama yang lain."

Jendra maupun Riki enggak ada yang sempat membalas karena mereka sudah dikejar-kejar waktu. Sekolah Riki berjarak lima puluh meter dari rumah, biasanya mereka hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di sana. Tapi di situasi genting seperti ini, bahkan dengan berlari serampangan, jaraknya seakan menjadi lebih jauh dan enggak cepat sampai. Apalagi saat sudah mulai ngos-ngosan, Riki malah mencetus jengkel, "Abang kenapa bangunin Adek terlambat, sih?!"

BUNGSUWhere stories live. Discover now