14. Eksperimen Gagal

884 169 21
                                    

          Sudah lebih dari setengah jam, Riki berdiri di depan cermin sambil memicing

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

          Sudah lebih dari setengah jam, Riki berdiri di depan cermin sambil memicing. Enggak tahu pasti apa yang ada di kepala anak itu, padahal esok paginya, ada ulangan harian dan ia enggak boleh telat. Bukannya belajar atau barangkali pergi tidur, ia masih saja mematut diri sambil bersedekap.

Helaan berat lantas mengudara tak lama kemudian. Berbekal secercah tekat yang sudah bulat, Riki menarik keluar sebuah gunting kecil dari laci meja belajar. Ia menatap benda tersebut dengan kepercayaan diri yang meruah. "Oke, mari kita coba," gumamnya seorang diri. Riki bergegas kembali ke depan cermin, ia menarik rambut depannya yang menjuntai agak panjang, kemudian memangkasnya sekaligus.

Satu detik, dua detik, hingga sepuluh detik berlalu, ia merasa potongan pertamanya sudah lumayan bagus. Rambut depannya sudah tak menutupi sebagian mata lagi. Anak itu tersenyum puas. Tapi dengan hasil itu, ia akhirnya menambah kategori eksperimen dengan memangkas bagian lain; rambut samping dan belakang.

Dengan kepercayaan diri yang belum meluntur—bahkan sesekali terdengar siulan rendah yang mengudara dari mulutnya—Riki mencukur rambut bagian samping dengan hati yang gembira. Hanya saja, terkadang kesialan memang enggak ingin berada jauh-jauh dari si bungsu. Sebelah tangan yang memegang gunting, tahu-tahu kejatuhan cicak dari plafon kamarnya. Riki berjengit sesaat, berteriak rendah sambil mengibaskan tangan dan berhasil membuat binatang tersebut merayap pergi naik ke tembok lagi.

"Huh, ngagetin aja!" gerutunya.

Riki berpikir sepertinya enggak ada yang salah, tapi Mbak Rohma dulu sekali pernah berkata, "Aden, kalau kejatuhan cicak itu biasanya ada pertanda buruk."

Ia ingat sekali ucapan si Mbak, lantas bergidik sesaat. Dalam hati berdoa semoga itu cuma tahayul saja. Riki menggeleng, menghalau pikiran aneh-aneh soal pertanda buruk apa yang dimaksud, kemudian mematut dirinya ke dalam cermin sekali lagi. Sedikit menelengkan kepala untuk meneruskan percobaan potong rambut sendiri, tapi sekonyong-konyong mata Riki membeliak diiringi teriakan dramatis yang seketika mengundang Hesa, Sergin, dan Sano untuk menjeblakkan pintu kamar si adik.

"TIDAAAK!!!"

Hesa beringsut mendekat lebih dulu dengan was-was, segala macam pikiran berjubal mengira kalau ada sesuatu yang buruk menimpa adiknya. Namun, langkah-langkah cepatnya berangsur melambat dengan pandangan yang mengedar ke segala arah—berjaga-jaga kalau ternyata bunglon peliharaan Riki kabur dari kandangnya dan melata di sepanjang kamar itu. Untung saja, Hesa masih melihat binatang itu di dalam kandang, tengah berkamuflase menjadi batang pohon dengan ekor yang masih terlihat kehijauan dari jauh. Hesa menghela napas lega.

"Ada apa, sih, Ki? Kok teriak-teriak begitu," tanya Sano dari ambang pintu.

Riki memutar tubuh, menunjukkan gunting dan rambut sampingnya yang terpotong tanpa sengaja dalam kondisi yang terlalu pendek. Matanya sudah berkaca-kaca. Sudah mulai menangis ketika berkata, "Rambut Adek, Bang. Rambut Adek gimana ini? Huhu."

BUNGSUWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu