04.Pentingnya menghargai

284 20 21
                                    

04.Pentingnya menghargai

"Sya Raga noh," senggol Aelius teman sekelas yang berdiri di sebelahnya. Nesya membenarkan posisi topi lalu melihat ke depan. "Oke juga lo baru masuk dua Minggu sekolah disini udah dideketin dia."

"Deket?" aneh saja kosa kata itu bila menggambarkan dirinya dengan Raga yang hanya baru mengenal lima hari.

"Mantep emang lo, sya."

"Lah siapa yang deket?"

"Yaelah sya ngaku aja kali cuma ke gue, lagian satu sekolah udah tau Raga ngincer lo," kata Aelius memasukan asal baju seragam kedalam sebab dari belakang terdengar suara langkah kaki pengawas sedang memantau.

"Nggak juga, lo kenal sama dia?"

Aelius mengangguk. "Sering nongki di warbes. Anaknya royal banget, beruntung kalo jadi pacar dia. Kata gue mending lo terima. Traktir gue udahnya."

Kornea mata Nasya berputar jengah. Di kelas Aelius tukang palak, brandal kakap, tetapi jika pada perempuan tidak begitu buruk.

Atensi Nesya balik menatap Raga, dia kena hukum berdiri di depan panggung bersama Castor dan Achung, jadi pusat perhatian. Tampilan mereka hampir mirip dengan Aelius, semrawut. Yang membedakan hanya rambut panjang setekuk warna putih cat metalic milik Raga.

"Dia dihukum kenapa, bikin salah?" betul-betul hanya bergumam namun terdengar oleh Aelius.

"Raga mah dari tampilannya aja udah salah," sambar Aelius menyengir saat Nesya menoleh, tatapannya menyuruh Aelius INTROPEKSI diri. "Lo jangan bandingin gue sama dia lah, gue urakan gini pake atribut dia nggak. Kebanyakan jotos baju sobek beli lagi gitu aja terus, kemarin aja ngajak sekelasnya war sama kelas sebelah. Nah, baju yang dia pake sekarang udah baju baru lagi."

Respon Nesya mengangguk tanpa menjawab ia tidak mau jadi bahan godaan si rese Aelius. "Kelas sepuluh Raga nyumbang banyak piala di sekolah ini makannya dia dikasih keistimewaan sendiri, boleh panjangin rambut---tapi kalo di cat lah di luar aturan istimewa," tambahnya menghilangkan suntuk mendengar pembina menyampaikan pesan.

"Jadi... dari kelas sepuluh rambutnya udah panjang?" tertarik untuk mengulik, sebab dari awal rambut Raga memang mencolok.

"Dari SD kata dia mah. Kaga tau sih gue bener apa nggak katanya kalo potong rambut kaya kita-kita dia suka sakit-sakitan," papar Aelius.

"Nggak, nggak. Gimana tadi, nyumbang banyak piala?" selain 'seram' kesan pertama Nesya pada Raga juga si anak brandalan. Lima hari terakhir ia sering melihat Raga pagi-pagi sudah memutari lapangan sebagai hukuman berbagai perbuatannya sendiri.

Aelius mengangguk mantap. "Sebelum sekacau sekarang dia pernah sempurna dalem segala hal."

*******

Dari internet saja tidak cukup, inisiatif Nesya mencari buku sebagai referensi tugas fisika di perpustakaan. Lantai koridor sedikit becek kena tampias air hujan yang tadi turun lumayan deras. Lapangan juga tergenang air, semua anak diharuskan cepat-cepat pulang.

"Raga... ngapain lo?" tanya Nesya melihat sosok jangkung rambut hitam putih merapikan buku.

Karena semua sudah pulang otomatis perpus sepi. "Dihukum," balas Raga seperti biasa. Santai.

Nesya mendekat, memilih duduk di bangku dekat Raga berdiri bersamaan dengan menyimpan buku yang sedari jalan ia tenteng ke meja. "Karna apa?"

"Nggak ngerjain tugas fisika," ungkapnya. Si gadis rambut sebahu, mata sayu, pipi gembul yang duduk di bangku lebih menarik ketimbang buku-buku, untuk itu Raga memutuskan duduk di sebelahnya.

Testudines:AmongragaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang