23.Sekuat racun peptisida

99 13 6
                                    

23.Sekuat racun peptisida

Pulang dari makan bersama Jaendra, Nesya diantar pulang oleh si pipi bolong itu, dari atas jendela ruang kerja Major memukul dinding melihatnya, beranjak ke kamar Nesya.

"Lo...." Nesya otomatis mundur, Major yang tadinya duduk santai di atas ranjang berdiri, tersenyum menyeramkan. Nesya sempat membeku sesaat menyadari artian niat dibalik senyum.

Langkah cepat selanjutnya berbalik badan, hendak berlari meski kecil harapan lolos.

BRAK!

Kaki panjang major jauh lebih cepat menutup---menedang pintu, menarik kasar lengan kurus Nesya. Tau akan digigit laki-laki dengan beragam corak tato tersebut membentak. "DIEM, SIALAN! LO GIGIT GUE PATAHIN LEHER LO!"

"AKH!" tubuh mungilnya terbanting ke ranjang, mencoba bangkit tetap kalah cepat oleh Major yang langsung mendorongnya, memeluk dari samping.

"LEPASIN!" teriak Nesya sampai tenggorokan kering kerontang. "BRENGSEK!"

Semakin kencang teriakan semakin erat juga pelukan major membuat Nesya dilanda sesak, bibir bawahnya berdarah karena ia gigit kuat menetlarisikirkan ketakutan, bau hanyir dan terasa asin bercampur dalam saliva.

"Jor, jangan gini, lepasin gue," mohon Nesya pada Major yang mulai menyandarkan kepala di bahu.

"Kenapa gak boleh, Raga juga selalu giniin lo kan?" tanya Major serak juga dingin dilanda kabut amarah, dia tidak tahu saja siang tadi Raga telah menjadi titik dimana Nesya menganggap tidak ada manusia yang betul-betul tulus.

"Engga, gue bukan Mama gue jor."

"Alah, sama murahannya juga pake ngeles, siapa cowok pake mobil brio tadi? yang baru? kalo tau semurah ini harga diri lo gonta-ganti cowok mending dari dulu gue pake," ucap Major enteng.

Kukuh Nesya menggeleng keras. "Engga, jor udah lepasin."

Sengaja Major malah menyeruak wangi tubuh Nesya, deru nafas terdengar nyaring. Bulu kuduk Nesya meremang seketika, ini sudah sering kali terjadi diawali sejak Nesya berumur lima belas tahun, kaget? tentu saja, setiap saat ingat momen ini lututnya bergetar hebat.

Karna Nesya merasa, hal ini salah besar. Terlebih mereka berbeda gender, Major laki-laki normal walau puluhan tahun menyendiri nafsu birahinya tetap berjalan. Umur Nesya juga semakin bertambah ke arah dewasa, bisa saja---tidak, Nesya selalu berarsumsi kata 'pake' yang selalu Major jadikan senjata hanya berlaku untuk menakuti, selebihnya batas dia hanya mencium lama puncuk kepala.

"Lo gak bisa lepas dari gue, harus selamanya bergantung ke gue biar bisa gue jadiin tempat lampiasan atas perginya Bunda," berat suara si tubuh penuh tato jelas terdengar sebab posisinya dia memeluk Nesya dari belakang dan menaruh kepalanya di pundak Nesya.

Padahal kalau kita reka adegan ke waktu beberapa jam lalu, tombak tajam telah menggores kan seluruh hidup Nesya ke jurang gelap, jatuh sendiri, ketika detik ini Major bilang 'bergantung' sedikit boleh jujur ia bahagia, karna setidaknya meski satu dunia membenci Major tetap disini dengan caranya.

Namun, untuk alasan 'pelampiasan' jatuh yang tertusuk tombak itu kini tertimpa sejuta luka.

"Lo jahat, jor."

"Iya, gue. Gak peduli."

"Jahat banget," lirih Nesya hilang tenaga untuk melawan. Wajahnya pias, efek berdiam diri di bawah guyuran hujan dua jam baru terasa.

"Gue cuma ngizinin lo pacaran sama Raga."

"Kenapa?"

"Karna... dia yang akhirnya bakalan nyesel pernah milih lo."

Testudines:AmongragaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang