06.Nikotin dan ruang bebas

275 17 29
                                    

06.Nikotin dan ruang bebas

Sepanjang jalan menuju kelas Castor sibuk dengan tabiatnya yang suka menggoda beberapa anak perempuan, bersiul atau mengedipkan mata, Achung sendiri kebagian tertawa saja kala respon para perempuan itu bergidig ngeri.

"Yeee ngelunjak nih, gue yang kece raga yang disenyumin?" kesal Castor mencak-mencak.

"Syarat utama selain ganteng berakhlak," balas Achung mengikat dasi ke lengan.

Raga setuju, tertawa nyaring. "Jadi gimana, Chung? gue nggak ada ahlaknya?"

"Ocon tor ambekan banget lo kaya Squidward," ucap Achung merangkul Castor.

Raga baru bisa ikut menyahut ketika sudah mengikat rambut. "Kita emang ada ahlak, Chung?"

Achung menggeleng, menyengir polos. "Eh ada lah, masih belum lunas tapi."

"Ahlak lo Chung udah kaya sprei cicilan emak-emak," cetus Castor. Ketiga manusia itu tertawa.

Kelas Nesya nampak ramai oleh beragam aktivitas anak kelasnya. Kedatangan mereka bertiga membuat sebagian gadis curi-curi pandang untuk cuci mata melihat Raga.

Alice gadis asli Belanda sekaligus satu-satunya teman Nesya di sekolah ini menaukat alis ketika tiga berandal itu berdiri melingkar kawasan mejanya. "Apa kalian apa mau?" nada logat bawaan dari tempat lahir masih kental, dan tolong dimaklum jika penempatan kata sering terbalik.

"Nesya masih tidak hadir, apakah dia mengirim kabar tentang keadaanya pada mu?" tanya Raga formal. Terkesiap Achung dan Castor mendengarkannya, mungkin bila mereka berdua mencoba akan menggelikan tapi tidak pada Raga.

Dia seolah pernah terbiasa menggunkan bahasa formal untuk sehari-hari, tambah aura dari raga sendiri. Beda saja.

"Sakit Nesya," jawab Alice pendek. Castor gagal fokus oleh mata hazel, rambut pirang serta kulit putih pucat asli milik Alice. Gadis itu bergumam pelan. "Dengan kalian Nesya dekat kapan?"

"Ketika kamu tidak masuk dua hari, kamu jalan-jalan wae sih, tidak tahu info." Castor menjawab, mata Achung hilang karna geli tertawa. "Mantep bener gue Chung berbahasa Indonesia yang baik dan benar?"

Tawa Achung membuat Raga terkekeh pelan, dasar receh. "Jalan tidak jalan," bantah Alice. "Sakit itu kemarin juga saya."

Sekedar info, Alice adalah murid pertukaran pelajar jadi masih harus banyak belajar menggunkan bahasa indonesia, pusing kadang jika mendengarnya bicara, itulah mengapa hanya Nesya yang kuat bertahan.

Belajar dari pengalaman, selama hidup selain Tuhan Nesya tidak pernah punya pendengar terbaik untuk bercerita keluh kesah, itu lah mengapa ia bersedia jadi pendengar terbaik orang lain.

"Oh! bertiga kalian ... dekati Nesya jangan," tegas Alice memasang wajah serius.

Kerutan kening Raga tanda bertanya. "Jangan dekati, Nesya? kenapa tidak boleh?"

"Kareuna bukan kalian anak bagus," jawab Alice jujur. Ketiganya saling tukar pandang.

"Kita bukan anak bagus?" tanya Raga telat konek.

"Ya bukan lah," ujar Castor menunjuk Achung. "Nih dia anaknya si Anton, nah yang rambut aki-aki anaknya---dadyy Xabiru." Beralih menunjuk Raga.

"Ye anjing pilih kasih lu?" bibir Achung monyong-monyong tidak terima. Castor menyangir.

"Anaknya si Budi emang tengil," sambung Raga terkekeh khas.

"Emang gak pernah bener gue ngebela lo," kesal Castor mencebikan bibir.

Testudines:AmongragaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin