14.Raga is not a monster

114 14 1
                                    

14.Raga is not a monster

"Jika terus-terusan mengajak teman mu melakukan perbuatan yang tidak benar Ibu bisa langsung laporkan pada ayah mu, Raga!" sentak Ibu meninggi.

Raga bukan si bocah cemen yang akan bodoh membentak balik pada orang yang kedudukannya lebih tua, terlihat anak itu santai tersenyum tipis, jari kelingkingnya menggaruk tengkuk. "Yahhh, telat Bu. Papa saya udah diambil Tuhan."

Dark jokes.

Alis Bu Elsa yang menukik tajam sekarang bertaut. "Maksud kamu?"

Di sebelahnya Auora melayangkan tatapan sengit, kalian harus tau selama ini Auora cukup berguna jika menyangkut jadi wali murid Raga. Hanya perlu sedikit polesan make up dan baju formal rapi saja pembawaan malasnya hilang.

Menyikut Raga menggunkan siku. "Ah, keluarga kita punya om baik, Raga selalu nyebut papa. Sayangnya dua tahun kemarin beliau udah pulang karna kecelakaan," alibi Auora. Satu-satunya cara menghentikan asbun dari mulut menyebalkan Raga.

Ibu menghembuskan nafas gusar, memijit perlahan pangkal hidung. "Untuk pembuktian lebih lanjut ibu akan melakukan rajia besar-besaran, perihal obat-obatan yang kamu dan teman-teman mu jual amat berbahaya Raga...."

"Saya sama anak warbes kalo mau stres nggak pernah ngajak-ngajak yang lain. Bu.... Regan nuduh saya karna jabatan dia ketos sekaligus ketua basket, harga dirinya terancam, dia pikir karna kita-kita brandal Ibu bisa terprovokasi buat nuduh dan kalo niat busuk dia Ibu percaya bakalan sebanyak apa nanti oknum-oknum yang cuma bisa nilai dari penampilan?" memang benar tutur katanya serius, beda dengan cara penyampaian, santai sekali.

Sebagai anak komunikasi semester lima Aurora rasa ia bukanlah pembicara sebaik Raga, pandai mengendalikan emosi serta berhasil membuat lawan bicara tak berkutik, meski santai selalu telak mengenai sasaran.

Bu Elsa membuang pandang ke penjuru ruangan, wajahnya yang sedari tadi meledak-ledak sedikit resah. "Jadi apa, kamu menyimpulkan pemikiran saya sempit hanya karna menilai dari penampilan saja? Hei! tidak wahai murid tampan ku," sarkas Ibu berdesis, menyodorkan buku tebal sampul keras warna hitam ke arah Raga. "Data kenakalan kalian tercatat di buku tersebut dan itu sudah cukup kuat kalau kalian bisa saja jadi dalang penjual obat terlarang."

"Ra liat, masa gue bolos lapan kali?" tunjuk Raga pada angka di dalam buku.

"Kurang dari lapan?" tanya Auora sebab wajah Raga tidak terima.

"Sepuluh," ralatnya enteng, bibir Aurora mencebik kesal. Ia baru ancang-ancang akan protes.

Buku ditutup Raga menyugar rambut pakai celah jari, kembali memandang wajah tidak bersahabat guru BK di depannya. "Orang yang berpikir luas bakal cari bukti dari pada kemungkinan yang masih belum pasti. Kata bunda itu masuk Pasal 310 ayat 1 KUHP, Bu."

"Pencemaran nama baik," lanjut Auora menyeringai. Waktu masih serumah dengan bunda yang berprofesi sebagai jaksa penuntut setiap malam Raga selalu membantu bunda menghafal pasal-pasal dan bunyinya.

Dilihat gerakan tubuh semacam dada naik turun, Raga tahu kemarahan Bu Elsa semakin mencapai puncak. "Maksud Ibu bukan menuduh melainkan mengawasi atas amanah dari ayah mu, hanya itu. Tidak ada maksud jahat seperti yang kamu pikirkan."

"Dan harus nggak ada maksud bela sepihak dong Bu? obat pertama ada di tas Regan yang di interogasi masa sepupu saya ini? kasian lagi nonton oppa van java harus kesini," kata Raga cengengesan dicubit oleh Aurora.

"Sok tau lo! Oppa Lee Suho!"

"Lah sama, kan?"

Auora mencak-mencak meralat. "BUKAN IH! opera van java mah Sule!"

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now