21.Siapa, takdir? that bullshit.

128 14 7
                                    

21.Siapa, takdir? that bullshit.

"KENAPA HARI INI HUJAN!" Raga mengulang kata sama lantaran tidak mendapat tanggapan.

Pak Abinaka sendiri menautkan alis, masih mencerna kemana arah pertanyataan terhubung, barang kali pendengarannya ada yang salah atau saat ini Raga sepenunnya dikendalikan alkohol. Dilihat dari cara berdiri tegak, alkohol tidak akurat untuk disalahkan.

"Apa pertanyaan mu memiliki nilai penting untuk saya jawab?"

"Gimana bisa kepala sekolah gak bisa jawab pertanyaan semudah itu?" sarkas Raga menyeringai. "SALAH BAPAK! HUJAN DERAS TURUN HARI INI SALAH BAPAK!" naik lagi volume sentakannya.

Masih dalam jari menopang tubuh di meja Pak Abinaka berpostur tubuh gagah tinggi tertawa rendah, segala jenis perasaan ia kontrol baik-baik. "Salah saya? pendapat mu begitu buruk sekali," katanya berjalan mendekati Raga. "Saya baru ingat siapa gerangan orang yang minim sopan santun ini. Prestasi mu amat melejit sewaktu kelas sepuluh, tidak salah lagi... Amongraga? satu Marga dengan Xabiru Amongraga Ricardo?"

Nama itu disebut, berhasil mempora-porandakan pikirannya.

"Pemilik cetering paling tersohor, para petinggi jika mengandakan acara selalu memilih bisnis milik ayah mu itu, juga bila tidak salah beliau memiliki group organisasi induk celematik yang rupanya kemarin merekrut perusahaan baru dari hasil kerja sama dengan Hartigan group?" manggut-manggut sendiri membiarkan Raga terbakar kesal, apa pentingnya membahas biodata orang tuanya.

"Juga, ah, Raisa?" mendengar nama Bunda Raga mendelik penuh ancaman. "Ibu mu, banyak kabar beredar dia tidak lagi diragukan dalam profesinya itu, jaksa penuntut? artikelnya rilis kemarin, beliau berhasil memecahkan kasus yang sempat ditelan bumi, telak sampai akhir banding kasus sengketa buronan pejanggal itu kena hukum sesuai pasal. Wow. Kamu terlahir dari lingkungan orang-orang hebat, tidak mengerti mengapa hasil didiknya seperti ini? mereka terlalu sibuk bekerja, hah?"

Tujuan utama pak Abina melemahkan raga lewat orang yang paling berarti, mempengaruhi jalur omong kosong. Matanya bergerak menatap sekeliling, hancur semua. "Ck, ck, ck, miris saya melihat mu. Mau jadi apa anak muda bila bergantung pada harta orang tua yang jadi bersikap sekenaknya?"

"Jadi apapun, asal jangan jadi Tuhan," sarkastik balik Raga. Hei, pertanyaan itu jelas bermakna: masa depan mu sudah suram. Padahalkan penentu jalan hidup hanya Tuhan yang tahu.

"Hebat!" tepuk tangannya sengaja kencang. "Jawaban mu jauh lebih baik ketimbang menyalahkan saya atas turunnya hujan!"

Raga tertawa merendahkan, tidak kalah kencang. Membuat anak-anak diluar ditimbun beribu pertanyaan, apakah baku hantam berubah maaf-maafpan lalu sayonara bersama?

Tawa itu justru membuat atmosfer mencekam. "CUKUP, TIDAK ADA YANG LUCU!"

"SEMUA SALAH BAPAK! BAPAK YANG BIKIN HARI INI HUJAN! BAPAK, JELAS BAPAK!" Raga mengatur nafas, menyibak rambut kelimisnya, tetesan air dari seragam Raga juga membahasi lantai. "NGAKU, PAK! NGAKU, SALAH BAPAK!"

PLAK!

Kupingnya coba Achung tempelkan makin dekat, Aelius bergerak naik ke punggung Castor mengintip suara keras apa itu.

Punggung tangan digunakan mengusap darah di hidung, baru saja ketika Raga berteriak murka kamus tebal menghantam wajahnya. Senyuman kiri terbit melihat Pak Abinaka lepas kontrol emosi.

"SUDAH GILA! OTAK ANAK BEGAJULAN SEPERTI MU TERTINGGAL DI WARKOP! MANA BISA MENYALAHKAN SEMUA TINDAKAN BODOH MU INI KARENA... HUJAN?! ANGGAPAN GILAK MU ITU TIDAK PANTAS DIPANGGIL PELAJAR."

"GILA? LHO, KENAPA, PAK?! GAK MAU DISALAHIN?!"

"JELAS KARNA ITU BUKAN SALAH SAYA!"

Mereka berdebat intonasi tinggi.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now