08.Merima dua kemungkinan

150 16 0
                                    

08.Merima dua kemungkinan

Kaki Raga baru menapaki sisi lapangan suara gaduh anak-anak sudah terdengar, antara lain mereka merasa maha pemaaf sejagat raya sebab telah Raga buat kena hukum.

"Nggak usah, ga. Gak usah, kita udah maafin lo," kata Bani tersenyum sok tabah.

Aelius menimpali. "Nyelo, ga. Nggak usah minta maaf, muka lo jangan ngerasa bersalah gitu."

"Lah?" heran Raga, ia justru dari sedari subuh cengar-cengir tanpa dosa, bahkan sebelum kelapangan ia santai saja sarapan nasi kuning di warung Bi Uci.

"No what-what, ga. Jangan mikirin kata-kata buat minta maaf," sambung Castor, khas mimik percaya dirinya itu melekat.

"Tuhan aja maha pemaaf masa kita tukang nyabun nggak, sanss aje, ga," timpal Zydan menepuk bahu Raga untuk tenang.

"Kita manusia pasti nggak luput dari salah dan hutang, gosah sedih gitu ga," imbuh Alham memejamkan mata beberapa saat.

Achung terkekik melihat drama teman-temannya. "Gue sih bukan pemaaf, sungkem lo," perintah Achung bercanda.

"Skip, kaki lo dakian," balas Raga enteng, mengikat rambut.

"Anjing, daki shaming?" umpat Achung, dia sudah mengira Raga mana mudah gitu saja meminta maaf.

"Pansos ke daki dih bawa-bawa daki?" celetuk Castor diantara tawa mereka.

"Itu nyindir lo yang dakian, tor. Ya, ga?" kekeh Gema pada Raga.

"Ya kali castor dua jam kalo mandi masih dakian?" alis Raga terangkat sebelah. Menggoda.

"Gue udah mencoba positif thinking nih, tapi kayanya olahraga tangan deh," sahut Zydan bercanda.

"Iye-iye, lo semua suci gue penuh dosa dah," geram Castor karna terus jadi bahan penistaan.

"EH ASLIAN KAGA YA, no daki-daki," ucap Achung meluruskan.

"Kalem Chung, kalem. Nggak usah klarifikasi, udah kaya seleb keciduk nambul bensin aja," gurau Raga mengedikan bahu.

"Lah lu gak tau, ga? Achung emang selebkan, selebnya tanah merah," cetus Castor maksud bercanda.

Achung merangkul Castor. "Yoi lah, tiap hari kan lo yang nganter," balas Achung menaikturukan alisnya.

Cepat disangkal Castor. "Chung apaan anjing? fitnah, gue aduin bapak gue lo ya, bapak gue polwan jangan macem-macem lo."

"Polwan, polisi wanita?" tanya Raga menautkan alis.

Gaduh saling mengumpat kebodohan Castor.

Disusul oleh tawa. Sekiranya itulah guyonan garing mereka yang terus menemani sebelum Bu Elsa datang untuk mengatur barisan dan memilih hukuman bagi anak-anak warbes ini.

Lain tepat, Nesya bersama Alice memperhatikan di pinggir pembatas lantai tiga lorong anak kelas dua belas. "Lihat kamu? Raga dan teman-temannya anak yang nakal. Sekali seminggu kena hukum selalu."

"Dalam seminggu selalu kena hukum?" Alice mengangguk, rambut pirangnya berkilau kena sinar mentari pagi.

Alice tidak tahu saja Raga kali ini dihukum karna masalah apa. "Nakal sekali mereka," lanjut Alice memecingkan mata, melihat puluhan cowok di lapangan dengan seragam jauh dari kata rapi.

Nesya paham, Alice hanya melihat Raga satu sudut pandang, bukan sudut lain seperti yang ia lihat. "Dia tidak seburuk itu, raga anak yang baik dan pintar jika dia mau."

"Apa maksud mu?" Nesya mengedikan bahu, tatapannya kembali pada Raga.

Ada miliaran bunga mekar tumbuh di perut Nesya melihat sosok rambut putih tengah memotret kucing bulu oranye menggunkan ponsel, hasil jempretan foto barusan Raga perlihatkan pada kucing seolah dia adalah temannya yang minta tolong difotokan.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now