33.Ruang tak pernah hilang

112 9 13
                                    

33.Ruang tak pernah hilang

Bila dulu Raga menganggap Nesya tak ada sekarang situasinya berbanding terbalik, dan jelas hal ini membuat Raga sentimental. Semua anak ia maki-maki tanpa alasan seperti pada Aelius yang baru saja datang.

"El lo tai, tau gak?"

"Hah?"

"Jangan sok mantep lo begitu, apaan?"

"Apa, ga?"

"Ya, lo, apaaan?"

"Gue diem?"

"Maksud lo, gitu apa, keren? engga."

"Ga apaan buset?"

"Gausah kaya gitu lo, jelek banget. Jelek."

Aelius melirik teman-temannya yang sudah jadi sasaran Raga, mimik pasrah mereka memberi pesan tersirat: iyain aja.

"Raga lo---" mulutnya Raga bekap cepat.

"Basi, alesan lo klasik. Gak mau denger gue, ah udah gak jelas semua lo," katanya jutek mengibaskan tangan berjalan menjauhi bale.

Aelius mengerjapkan mata melihat punggung Raga menjauh, lima langkah kemudian alangkah terkejutnya mata setajam elang itu berbalik. "WOI ANJING TAHAN KEK? LO SEMUA TUH NIAT GAK SIH JADI TEMEN GUE?" sungut Raga menunjuk mereka yang langsung berdiri.

"Ga, denger dulu alasan aku!" Castor memulai.

"Kita bisa jelaskan baik-baik!" lanjut Achung.

"Ya, bener! secara kekeluargaan!" tambah Zydan.

"Aku ngelakuin ini demi kebaikan hubungan kita!" timbrung Alham.

"Jangan pergi!" pungkas Bani.

Raga bergedig, berdecih. "Najis, gila lo semua, ha?"

Serba salah. Castor pun anak lain betulan bisa memaklumi sifat kekanakan raga dalam hubungan, karna ini pertama baginya

*****

"Karna kelas kalian kosong pengajar, Bu Yuminya sakit, jadi Ibu titip Nesya untuk ulangan di kelas ini, Nesya juga mengawasi kalian agar tidak keluar atau merusuh ke kelas lain."

Kata Ibu Wati membuat jantung Nesya berpacu kencang sebab ini kelas Raga, mereka akan jadi bahan perhatian.

Terlebih, keduanya pernah sehangat hembusan nafas sebelum sedingin lautan lepas.

Meja ke tiga di barisan pojok dekat jendela sekarang Nesya membuka tas, mengambil alat tulis serta perlengkapan membuat garis-garis.

Castor dan Achung sedari tadi memandang Raga, anak itu terpekur sendiri di meja pojok, sorotnya menilik telak ke arah rambut menggembang Nesya yang dari dulu tidak pernah panjang.

Matematika bukan kesukaan Nesya, dia malah lebih banyak mengarang di mapel ini untuk menjawab ketimbang di mapel Indonesia yang mendapat julukan pelajaran 'karang mengarang' jutsru malah menggunkan otaknya itu.

Kotretan angka tertera di kertas kosong, sedikit, tidak sebanyak anak-anak ambis karna dia tidak hafal rumus. Seandaikan ia tidak sakit, pasti tak akan ikut susulan di kelas orang begini. Bukan apa, ia hanya risi dengan suasana baru.

"Salah."

Cepat Nesya mendelik ke samping, tampang lempeng bernada suara dingin berasal dari laki-laki rambut setengkuk. "Bukan dua," lanjut Raga ketika Nesya terlihat acuh akan koreksinya. "Salah, Nesya."

"Limanya harus dipangkatin dulu," tambah Raga sebab Nesya kukuh memilih bebal. "Jangan pake min."

Angin lalu, Nesya tak bergeming.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now