22.Jalan main setiap karakter

122 11 8
                                    

22.Jalan main setiap karakter

Gumpalan awan hitam tiada henti mengeluarkan isi perutnya. Beberapa kali juga Nesya mengusap wajah, hanyir di pakaian terbersihkan sendiri oleh air hujan, terhitung dua jam ia duduk sisi danau, membiarkan jutaan tetes air membungkusnya dengan kesedihan. Menumpah ruahkan segala kebencian.

Luluh lantak seluruh emosionalnya, mengingat suara-suara itu hilir mudik membenturkan saling bunuh.

Terbukti jelas, laki-laki memang bajingan. Hanya terhimpit di waktu sudah, sedang dan belum. Seminggu lalu saat mereka membawa kucing untuk membujuk Nesya makan, berkata jelas.

Lo bagian dari anak warbes....

Ginesium istithat kedua Raga juga menyampaikan stigma mengenai Medusa. Kemudian Nesya iseng mencetus.

Lo beneran tulus atau belom brengsek?

Di detik itu tanpa diminta hati Nesya bahkan sudah mengambil hipotesis, mana mungkin Raga bajingan. Impossible.

Next?

Ya....jawaban Raga sudah jadi kisi-kisi sejak itu. Kemana saja Nesya? tenggelam lautan cinta yang ia buat sendiri.

"Cih, dasar manusia-manusia sialan, dikasih hati sama Tuhan gak berfungsi, buat apa kalo gitu?" maki Nesya melempar batu kedanau berkali-kali.

Lemparan berikutnya terhenti sejenak, bayang tetes hujan masih merebak di danau tapi mengapa bulirnya tidak terasa mengenai bagian tubuh, mendongkak.

"Lo?"

Mahasiswa itu lagi, tatapan teduhnya berpender di bawah payung yang ia cekal. Tersenyum simpul.

"Lo ngapain?" tanya Nesya, rambut sebahu yang biasa mengembang lepek.

"Liatin ABG galau," katanya enteng. Nesya melipat kening. Melirik kesana kemari.

Payung biru tersebut bergetar, Jaendra tertawa. "Gue? enak aja!"

Berdiri saling tatap. Mata sembab dan hidung merah tercetak jelas. "Mau makan?" tawarnya.

"Engga, sana."

"Gue pernah nangis sejam penuh, udahnya pusing, pengap, lapar. Apalagi lo yang dua jam?"

"Lo...?"

Jaendra mengangguk kecil. "Kampus gue deket sini, dari awal lo dateng penampilan berantakan gue liat, disana, bawah pohon."

"Terus?"

"Gue tungguin, gue engga telepati tapi umumnya tindakan nekat bakalan terlintas kalo kita ada di titik terendah."

"Takut gue bunuh diri?" Nesya bertanya to the point, Jaendra malah diam. "Kalo takut gue bunuh diri kenapa dari awal gak nyamperin, gue butuh orang buat dihajar tau, gak?" nada jutek itu tidak setegar biasanya. Desiran pilu terdapat disana.

"Ada banyak manusia yang punya caranya sendiri buat numpahin kesedihan, kalo sendiri di bawah guyuran hujan itu cara lo, buat apa gue ambil alih?" Jaendra menjawab cukup bijak. "Satu diantaranya ada yang perlu banget dipeluk, diusap-usap rambutnya, didengerin dan butuh ruang kosong. Manusia terakhir itu biasanya gak mau orang lain tau dia sedih karena alesan tertentu, no prob. Itu jalan mainnya karakter setiap orang."

Sisa segukan bekas menangis terdenger pelan, Nesya mengangguk. Raga mungkin jauh lebih bijak tapi Jaendra seakan ada di posisi Nesya. Karna, kita tidak akan benar-benar tahu bila tidak mengalami langsung.

"Ganti baju, gue ada switer punya Mama di mobil. Ayo gue anter ke toilet umum," ajak Jaendra dibuntuti Nesya.

Jaendra dan Raga masih lebih tinggi Raga tapi dibanding Nesya, tetap saja anak itu sebatas dada. Tubuh Jaendra lebih terisi ketimbang Raga, setiap mahasiswa itu tersenyum Nesya akan terpaku dengan bolongan di pipi kanannya.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now