27.Pelan-pelan agar sejalan

98 12 3
                                    

27.Pelan-pelan agar sejalan

"Bu kita bukan anak SD," oktaf Raga mulai menekan, ia meringis menahan kesal. Melirik Nesya yang menyengir sambil memperlihatkan jari kelingking.

"Kamu jadinya mau atau tidak maaf-maaf-pan dengan Nesya?" decak Ibu kesepuluh kali mengulang.

"Urusan ini di luar Ibu, privasi." Raga masih bebal akan keputusan sendiri.

"Sekalian aja, ga. Ayo cantelan kelingking biar apdol!" ajak Nesya mengangguk.

"Males," ketus Raga berprilaku sedingin waktu saat membentaknya di rooftop.

"Tuhan aja maha pemaaf, masa---"

"Ya karna gue bukan tuhan."

"Yaelah belagu amat---eh maksudnya, harus pemaaf, Raga."

"Gak."

"Lo tega nganggurin kelingking gue?"

"Turunin makannya tangan lo!"

Nesya mencebir. "Sensi banget kaya cowok gue."

Alis Raga terangkat sebelah. "Siapa cowok lo?"

"Ada."

"Siapa?"

"Yang kepo."

"Siapa?!"

"Yang ngotot."

"Gue engga ngotot, engga kepo," ucap Raga mencoba biasa saja.

"Yaudah, padahal ganteng," bahu Nesya mengedik acuh.

"SIAPA NESYA PRINZESIN?!" tangan Raga terkepal marah, hatinya panas.

Bahkan Bu Elsa dan Nesya terperanjat.

"Lo tuh!" omel Nesya memberi kode lewat tatap mata ada Ibu. "Iya-iya deh, lo maafin gue, baru gue kasih tau."

"Deal. Kalo jawabannya cowok itu gue, maaf-pan itu sifatnya gak sah," balas Raga mengulurkan tangan, menyunggingkan seutas senyum kiri. Nesya tersekak.

"GR!"

Nafas panjang Nesya tarik perlahan lalu dikeluarkan juga perlahan.

"Dia anak yang punya seribu rasa tapi engga cukup pinter buat ngendaliin salah satunya. Satu diantaranya rasa itu adalah tentang perkara mati yang sifatnya susah buat lagi diajak langsung kompromi. Harusnya tuh pelan-pelan kalau mau sejalan. Pelan-pelan biar tau tujuan, pelan supaya kita tau persoalan tentang cinta kedudukannya bukan cuma saling jatuh berdua tapi juga gimana berjuang sama-sama," jelas Nesya mudah saja merangkai kata bagi penulis novel sepertinya.

"Sya... gue enggak pernah ngerasa berjuang sendiri kalo lo mau kasih kesempatan cerita," jawab Raga terdengar kacau.

"Kenapa orang pas disuruh makan makanan yang rasanya pait itu sedikit-sedikit?" pandangan Nesya tetap tenang tidak sekalut hari itu. Raga menunduk sekejap.

"Karena engga ada yang sanggup nelen pait terlalu banyak. Engga ada yang sanggup harus ngelewatin masa-masa gak ngenankin itu secara spontan, selain momen yang udah kejadian banyak juga orang yang butuh dituntun pelan-pelan buat ngulik masa lalu pait, sya..." Raga terpekur oleh hipotesisnya sendiri.

Masa pahit butuh banyak dorongan pelan-pelan agar bisa diceritakan. Kalau Raga ingin instan Nesya menceritakannya, dia hanya akan mendapatkan penolakan.

"Sya...." lidah Raga kelu, tertahan di pangkal kerongkongan.

"Gue minta maaf, Raga." Nesya lebih dulu bersuara. "Gue salah dan lo berhak marah."

"Berhak juga kasih gue waktu buat coba ngerti ini semua kan? kalo semua langsung selesai mudah kapan sadar kalo kita pernah buat salah," kata Raga merasa pilihan ini terbaik untuk menjalankan misinya.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now