17.Dewasanya figur ayah

124 17 1
                                    

17.Dewasanya figur ayah

"Shat up! pokonya, lo mau keluar eskul chiliders karna dari awal cuma numpang nama aja kan?" simpulan nyeleneh itu di ambil satu pihak. Hanya oleh Zanika Leta Abinaka.

"Begitu-begitu tidak," kepala Alice menggeleng kukuh.

"Alasan," desis Zanika meratakan lipstik yang baru ia polesakan. Memasukan benda mungil tersebut pada saku seragam, bangkit seraya menyilang tangan depan dada. "So what? kalo alesan lo karna fisik nggak kuat, kenapa baru sekarang?"

"Kamu itu karna jadwal merubahnya, bukan harusnyasa Minggu adalah dua kali saja?" terang-terangan Alice menjawab, lagi pula memang begitulah faktanya.

Anggota lain disisi kanan-kiri kalau boleh diberi kebebasan pasti berada di pihak Alice, berhubung Zanika gadis centil make up dempul---cetar membahana--- dan, anak kepala sekolah mereka terpaksa kunci mulut.

Zanika menghela nafas rendah seraya merapikan rambut curly sebahu, dagunya terangkat ke atas. "Masalah buat lo? I am the leader. L-E-A-D-E-R, jelas?"

Ketua yang didapat dari berjalannya uang ayah, peran Zanika hanya berpura-pura berjuang lantas berkoar hasil usaha sendiri.

"Ya, itu tau aku. Saja bebas aturan saja apa kamu karna ketuanya, sudah tapinya adalah kita anak kelas dua behelas, sibuk-sibuk tugas lalu kerja juga kelompok," papar Alice memberitahukan detail.

Kebijakan konyol apa eskul chiliders latihan hampir empat kali seminggu, bentrok tugas juga fisik akan melemah, imun menurun bisa mengakibatkan sakit. Lebih parah itu sudah mutlak keputusan sang ketua. Hari satu, dua sebagai dari jadwal, tiga, empat demi tebar pesona pada anak basket. Sengaja latihan di genisium, ikut gabung dengan mereka. Modus merepotkan ala Zanika. Tentu saja.

Tawa merendahkan keluar cukup kencang, Zanika maju satu langkah, meneliti wajah lugu Alice dengan tatapan sengit. "You're kidding, me? berani nentang lo sama ketua? sadar dasar cewek bahasa alien gak jelas! ini sebenernya kebaikan gue yang rela nambahin latihan karna lo suka lupa koreografi!"

Medesu, pintar sekali membalikan keadaan demi keuntungan sendiri.

"Aku?" wajah Alice yang harusnya marah malah kebingungan, maklum sistem otakmya agak lemot tersingkronkan.

Santai Zanika mengedik dua alis, bola mata fokus memperhatikan kukuk yang terdapat kutek merah muda, meniup-niup pakai gaya kelebih---sok elegan---arti gerak tubuhnya meng-iyakan.

Bertaut alis Alice, ia akan mengakui kalau lemot pelajaran tetapi untuk mengingat koreografi itu mudah saja, malah kata Ibunya dari kecil motorik Alice lebih pesat dibanding anak lain.

"Eummm--maaf...." menimang dalam hati, bilang atau tidak. Kenapa tidak kalau dilontarkan baik-baik. "Bukannya kamu yang hafal lah susahnya itu, ya?"

Anggota lain tukar pandang dengan bersamaan tatapan dingin tajam Zanika menghunus ke arah si pembicara. "Gue?"

"Ya, betul?"

Senyum tipis beraura menyeramkan tercetak. "Sure, say it again?"

Sementara waktu Alice bernafas lega respon Zanika sesuai perkiraannya. Ia tersenyum lebar dan mengulang----perkataan yang akan jadi petaka.

"Maaf, kamu ya, kamu selalu salah banyak."

Semua anggota berhitung mundur, nafas dan mimik wajah Zanika memang terlihat tenang tetapi tidak selaras dengan emosi dalam diri.

PLAK!

Semua tahan nafas sesaat.

Kulit pipi Alice yang amat putih itu langsung terdapat lima jari Zanika, tertunduk, rambut pirang alami menutupi wajahnya yang menahan tangis. Sejurus kemudian berbalik badan mencari letak CCTV.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now