30.Adalah bagian yang patah

82 11 6
                                    

30.Adalah bagian yang patah

Jika jantung Nesya bisa copot, sudah luluh lantak di lantai. Sel-sel saraf otak yang berjalan terasa mati fungsi, darah mengalir berdesir kencang.

Blank.

Semua gelap.

Perut mual, kepala kian berkunang.

Pasokan udara ke dalam pura-pura menipis.

Jangan disini, jangan disini. Menghentikan getaran sekujur tubuh membuat bibirnya berdarah menjadi lampiasan menahan.

"Kebongkar juga kedoknya?"

"Yaelah gak bakal jauh beda dari induknya kali."

"Masih mau nyangkal?"

"Bukti jelas begitu, digilir kan lo?"

"Gede juga dalemnya."

Mading pagi itu berdengung lontaran-lontaran jahat, suara senduktif, tatapan intesn, merendahkan, bersatu memukul keras-keras Nesya yang sudah rapuh dari kemarin.

Masalah baru lagi.

Dia menutup telinga erat, menerobos semua anak yang bersorak. Siapapun menganggapnya hina, tidak peduli, Nesya tidak akan buang tenaga dengan buka suara bagi mereka yang akhirnya tidak akan percaya.

Yang dia yakini, ada satu orang titik putih di ribuan kegelapan ini yang utuh menyimpan seluruh percayanya.

Aelius menggeleng. "Dia pergi pas udah liat foto-foto lo di mading. Sya...."

Tangan Aelius yang memegang bahunya, Nesya tepis kasar. "APAAA, LO PIKIR FOTO GUE PAKE BAJU TERBUKA DI KELILINGIN COWOK ITU SADAR? ENGGAK! GUE AJA GAK TAU ITU KAPAN, DIMANA."

"Tapi lo kerja di bar sana---"

"RAGA DIMANAAA, DIMANAAA?!" gertak Nesya memutus ucapan Achung bengis.

Seluruh anak tak bergeming, Nesya mengatur nafas, mendekat ke arah Bi Uci yang air mukanya tidak kalah kalut. "Bi Raga dimana?" bibir Nesya bergetar, Bi Uci juga dapat merasakan tangan Nesya yang menggenggamnya dingin penuh getaran. "Bibi tau kan, dimana, Bi?"

Mobil bus hampir menabrak Nesya yang berlari terburu-buru, tidak peduli apapun. Menemui Raga kemudian melihat bola matanya yang kini Nesya kuatkan, ada harapan disana.

Ribuan telpon tidak diangkat oleh Raga, pesan tak henti berdatangan. Dia berjalan tanpa tujuan, entah sudah sampai mana, entah harus melakukan apa, sebab buntu tujuan tidak pernah ada di daftar hidup Raga. Tatapan gelap nan kosong membuktikan sekacau apa anak itu sekarang.

Seharian penuh Nesya menunggu Raga di gerbang apart, seharian juga Raga mengobrol dengan gelandangan, pemulung dan orang-orang yang hidup di bawah jembatan. Mencari hal yang membuat ia harus berpikir 'bersyukur Raga, liat mereka enggak seberuntung hidup lo' namun ternyata bersyukur di atas kata hancur membuatnya mati-matian menenggak ke atas, mengedipkan mata berulang kali... air matanya tak boleh jatuh setetes pun.

Matahari tumbang di kaki langit. Senja ditelan permukaan danau. Bermandikan cahaya bintang gemintang di langit angkasa, bayangan diri terus menemani sampai suara serak itu memanggil.

"Raga!"

Ukiran senyum Nesya tercetak di bibirnya. Mendekat, melihat Raga yang menunduk membuat Nesya menopang dua pipi Raga, membuat mereka saling tatap.

"Raga, Raga ... Raga percaya gue kan?" sama sekali tidak menangis, Nesya tahu dia tidak salah pulang. "Raga, percaya kan?"

Diam.

Testudines:AmongragaWhere stories live. Discover now