31.Arah kian menyepi kesian

80 11 14
                                    

31.Arah kian menyepi kesian

BI Fitri tiada henti menangisi Nesya yang Major gotong ke kamar. Gadis malang itu pingsan setelah lima jam lebih kedinginan dan belum makan apa-apa, melawan ketakutan sendiri di kamar mandi.

"Saya telpon Dokter dulu, bibi tolong gantiin bajunya," perintah Major cepat keluar, mengotak-ngatik benda pipih di tangan.

Tangisan Bi Fitra semakin pecah saat melihat luka biru sana-sini, hampir memenuhi tubuh Nesya. BI Fitri tahu semua latar belakang Nesya, ditambah musibah apa yang kemarin menimpanya.

Sambil menunggu kedatangan dokter kerumah. Major berjalan ke kamar, mencari obat yang biasa ia minum. Duduk tepi ranjang sambil menjambak rambutnya sendiri.

Malam kemarin, dia betul-betul kelewatan.

Untuk itu ia sekarang rela mengambil cuti kerja sampai Nesya membaik.

"Den Dokternya udah datang," ucap Bi fitri mengetuk pintu kamar Major.

Tubuh kurus Nesya diperiksa, dinyatakan dehidrasi dan demam tinggi, juga soal luka-luka membiru di tubuh. Tidak ada yang fatal, hanya tinggal menunggunya sadar.

Selimut hangat Major pakaian pada Nesya, mengompres kening. "Saya bikin bubur, bibi yang nyuapin ya?"

Bibi menyeka air mata di pipi, mengangguk.

Ketika Major selesai dia tertegun mendengar suara mengigau Nesya.

"Jangan dipukul lagi, sakit. Ampun Major, ampun."

Berulang mengatakan hal serupa. Jangan pukul, jangan pukul. Sakit, sakit. Bi Fitri mengusap lembut lengan Nesya. Menyimpan bubur di nakas, balik keluar.

Sepuluh menit berjalan.

Tubuh dingin Nesya berkeringat, tersentak kecil. Menilik ke penjuru ruangan. "Major.... Major dimana, Bi?" tanya Nesya was-was.

"Di kamarnya non, kamu udah baikan?" tanya Bi Fitri mengerti arti ketakutan itu.

Nesya mencoba bangkit meski kepalanya berat. "Non---eh, mau kemana? belum sembuh sini makan buburnya dulu," larang Bi Fitri.

BRAK!

Sekuat tenaga Nesya menutup dan  mengunci pintu. "Saya gak mau ketemu cowok!" ucap Nesya dengan tubuh menggigil.

Disaat bersamaan Major menggedor pintu membuat Nesya reflesk jongkok dan menutup dua telinga menggunakan lengan.

"ENGGA, UDAH! AMPUN! AMPUN!" jerit Nesya histeris.

"Nesya buka!" ujar Major, tidak ketus namun nadanya tinggi.

"ENGGA MAJOR, GUE ENGGAK JUAL DIRI! GUE ENGGAK MURAHAN, ENGGA. UDAH, JANNGAN PUKUL LAGI!" balas Nesya dalam posisinya

"Gue nggak pukul lagi."

"BOHONG! SEMUANYA BOHONG!" jawab Nesya mengatur nafasnya tersengal.

"Gue cuma mau ngecek kondisi lo, Nesya." Major berkata sambil membuang nafas perlahan.

"Gak mau dipukul, sakit," suara serak Nesya sampai ditelinga major. "Engga mau," kepalanya menggeleng-geleng.

Tidak sadar pintu sudah terbuka, menampilkan Major yang mematung melihat posisi Nesya, melirik Bi Fitri yang bergeming seolah memberitahu kalau 'ia sering melihat Nesya ketakutan lemah begini'.

Bahkan ketika Major jongkok mendekat, gadis yang tidak pernah terpikir untuk berbuat jahat meski berkali-kali dunia tak adil padanya itu menutup mata ketakutan. Lirih bermonolog. "Bayar SPP, engga, engga jual diri. Kerja aja, cuma kerja. Mau lulus sekolah aja, engga poya-poya. Engga, engga papa makan sisa major juga, jangan pukul-jangan pukul lagi," rancau Nesya mengatakan apa saja yang terlintas di benaknya.

Testudines:AmongragaKde žijí příběhy. Začni objevovat