1. A Promise

7.1K 748 58
                                    

"Bun! Jangan ngaco! Sofie nggak suka hal seserius ini dijadiin bercandaan! Perjodohan? Ya ampun, Bunda, itu nggak masuk akal banget. Sofie nggak mau dijodohin."

Pulang ke rumah bukannya disambut oleh senyuman Bunda dan Ayah secara hangat, aku malah dikagetkan oleh kedatangan tiga orang yang pengen banget aku usir. Bukan maksudku nggak sopan, tapi niat kedatangan mereka yang bikin aku meradang.

Apa? Perjodohan katanya? Ngaco! Siapa yang mau dinikahin lewat perjodohan kayak gini? Mau seganteng apa calonnya, aku nggak peduli! Aku nggak suka dijodohin, apalagi sama laki-laki yang lagi duduk bareng orang tuanya di ruang tamu itu. Mending aku jadi perawan tua selamanya daripada nikah sama dia.

"Kecilin suara kamu, Sofie. Oliver dan orang tuanya bisa dengar."

"Biar, Yah, biar mereka dengar. Sofie nggak mau dijodohin, apalagi sama Oliver."

Kesal, aku minum air seperti unta. Ayah berdecak melihat tingkahku. Sebentar lagi biasanya Ayah akan ceramah. Tapi ternyata kali ini nggak kudengar kata-kata minum air jangan sekaligus, teguk dua sampai tiga kali, itu yang Nabi Muhammad ajarkan.

"Sofie, jangan bikin Bunda malu. Kami udah setuju lamaran ini."

Hah?! Kepalaku bertambah sakit. Bunda nggak sayang sama aku, ya? Keputusannya yang sepihak ini sangat merugikanku. Kenapa nggak tanya pendapatku sebelum ngasih keputusan?

"Ayah juga setuju?" tanyaku waswas.

"Oliver baik, alim, bisa jadi imam yang pantas buat kamu. Ayah setuju."

Kuletakkan gelas kosong agak kasar di meja. Berusaha nggak meluap-luap, kututup mata sebentar dan mengembuskan napas panjang. Ini nggak benar, ini kesalahan, dan harus segera diluruskan. Aku nggak mau terjebak pada pernikahan dan dengan pasangan yang nggak aku inginkan. Menikah itu cuma sekali, aku ingin melakukannya dengan orang yang aku pilih.

Aku sudah punya pacar, tapi Ayah dan Bunda nggak ngerestui. Aku sedang dalam tahap membuat mereka mengubah penilaian ke Farel. Tapi apa ini?! Tiba-tiba aku dijodohkan tanpa ada yang peduli aku mau atau nggak.

"Ayah, Bunda," kugenggam tangan mereka, "Sofie nggak mau dijodohin. Sofie juga masih punya pacar, ini nggak adil buat Sofie dan Farel."

Tenang, Sofie, tenang. Bicara baik-baik dulu.

"Ayah udah suruh putusin pacar kamu yang nggak tahu apa-apa itu, Sofie. Ayah nggak mau punya menantu yang nggak punya bekal untuk membimbing kamu. Mau jadi apa pernikahan kalian nanti kalau dia aja nggak pernah sholat? Gimana dia mau gantiin tugas Ayah untuk mengarahkan kamu jadi seorang muslimah yang seharusnya? Bukannya suruh kamu pakai baju tertutup, matanya malah berseri-seri lihat baju-baju kamu yang kekurangan bahan itu, Sofie."

Duh, Ayah mulai lagi. Aku menatap Bunda, mencoba memohon belas kasihnya. Dan seperti tadi, Bunda hanya menggeleng melihatku yang kacau. Habislah aku. Bunda dan Ayah kukuh atas lamaran tiba-tiba ini.

Kenapa, sih, ada kejadian nggak terduga gini? Orang itu datang tiba-tiba dan dengan mudah membuat Ayah nerima lamarannya. Ini nggak adil banget. Lima bulan aku berusaha bikin Ayah klik sama Farel, tapi selalu gagal.

"Udah, udah. Nanti kita bicarakan lagi. Kasihan Oliver dan orang tuanya nunggu lama. Sofie juga ikut ke ruang tamu."

Tenagaku untuk menyanggah dan menolak lenyap tanpa sisa. Aku mengikuti Ayah dan Bunda ke ruang tamu. Tiga orang di sini tersenyum lebar melihat kedatangan kami. Cepat-cepat kualihkan wajah ketika pandanganku beradu dengan sosok yang baru saja dikabarkan akan menjadi suamiku.

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang