26. Imperfect Us(a)

1.3K 276 47
                                    

Tahu salah satu hal yang paling menyedihkan? Ketika kamu menyesal sudah melakukan sesuatu tanpa pikir panjang dan kamu nggak akan pernah bisa mengulang waktu.

Aku nggak tahu kenapa terlambat menyadari bahwa sikapku tadi kekanak-kanakan. Walau aku berbicara pada Oliver dengar suara rendah dan pasti nggak semua orang dengar, tetap saja harusnya aku nggak melakukan itu. Keluar dari ruang acara dengan tergesa-gesa, lalu disusul oleh suami juga bukan suatu pemandangan yang mengagumkan. Harusnya aku tadi cukup sampai menegur ibu-ibu penggosip itu dan menahan sisanya. Tapi dengan bodohnya lagi-lagi aku berbuat kesalahan.

Malu banget!

Kuhela napas panjang, menenangkan diri sebelum turun dari mobil. Oliver berbinar melihatku yang mau bicara dengannya. Di teras, orang-orang berkumpul lebih banyak dari sebelumnya. Aku meringis saat melihat Mama juga ada di sana. Mereka semua pasti penasaran dengan apa yang terjadi.

"Sof, kamu udah nggak marah?"

"Menurutmu?"

Aku nggak tahu kenapa cara ini yang kupakai, tapi rasanya memang dapat sedikit memuaskan rasa penasaran orang-orang. Aku memeluk Oliver, lalu berbisik, "Ini belum selesai, Oliver. Aku mau lanjutin di rumah."

Memang aku yang memulai, tapi tetap saja aku syok saat Oliver memeluk erat pinggangku dan mengatakan, "Makasih karena kamu cepat menyadari situasi."

Tadi aku ingin pergi, tapi setelah puas memukul setir, aku sadar nggak seharusnya bersikap begitu. Orang-orang itu nggak perlu tahu ataupun hanya sekadar mendengar perdebatanku dengan Oliver. Lagi pula, aku harus bisa menghargai tuan rumah. Nggak cool banget aku yang bersedia datang, terus pergi dengan cara memalukan.

Oliver menuntunku berjalan. Mama terlihat khawatir, begitu juga dengan beberapa orang yang terang-terangan bertanya sebenarnya ada apa. Oliver mewakili bicara, tanpa menjelaskan inti yang sebenarnya. Dan Mama tampak nggak puas dengan jawaban Oliver, seketika Mama bertanya lagi, tapi aku tetap nggak mau cerita. Nggak di sini, nanti saja di rumah.

"Ya udah kalau gitu. Sofie ayo masuk lagi. Belum dapat makan dan minum, 'kan?"

"Iya, belum, Ma."

Sewaktu Mama menuntunku, ponsel Mama berbunyi. Mama permisi sebentar untuk menjawab telepon.

"Cari minum sama Oliver dulu, ya, di dalam. Mama mau ke depan sebentar, ada saudara yang kebingungan nyari rumah ini."

Aku mengangguk-angguk. Mataku dan Oliver sempat bertatapan sebelum dia mengajakku masuk setelah kepergian Mama.  Diiringi tatapan ingin tahu beberapa orang, aku berusaha menebalkan wajah dan nggak ambil pusing tentang apa pun yang mereka pikirkan. Sayangnya, baru saja aku menginjakkan kaki di ruang tamu, telingaku kembali panas. Tapi hal lainnya yang menggangguku adalah raut wajah Oliver mendadak suram.

"Apa aku bilang, yang namanya Sofie itu bukan perempuan baik-baik. Nggak menutup aurat, terus tempo hari ketemuan sama laki-laki. Oliver nggak ada di sana saat itu. Coba siapa itu kalau bukan selingkuhannya Sofie? Teman? Kok berduaan aja?"

"Astaghfirullah. Beneran dia sama laki-laki lain?"

"Iya, bener. Ini aku ada buktinya."

Dadaku berderu. Kenapa orang-orang di keluarga Oliver sangat suka membicarakan sesuatu yang belum tentu benar? Selingkuh? Siapa selingkuhanku? Aku punya suami ganteng dan paripurna gini saja belum aku unboxing, mana ada kepikiran buat cari yang lain. Astaghfirullah.

"Ihh, iya. Ini ngapain mereka berduaan aja?"

"Ya, itu. Aku sempatin ngerekam sebelum pergi. Kaget banget, 'kan? Emang dari luar udah kelihatan nggak bener."

Full of BetonyWhere stories live. Discover now