15. A Gift

1.6K 299 17
                                    

Setelah dua hari menghabiskan waktu seharian dengan Oliver, hari ini akhirnya aku pergi kerja karena harus meeting dengan calon klien. Pemilihan konsep dekorasi, pemilihan bunga, pendiskusian budget, dan sebagainya ternyata memakan waktu sampai setengah hari. Untungnya klien ini nggak cerewet yang bikin pusing. Iya, pasangan ini memang detail banget nanya-nanya dan ngasih list permintaan, tapi bahasanya sopan gitu. Aku paham mereka mau yang tebaik buat acara pertunangan nanti. Lalu lokasi kafe yang menjadi tempat meeting kali ini berada di dataran tinggi serta dikelilingi laut membuat aku nggak ngerasa penat juga. Fun-lah hari ini.

Sekitar jam tiga sebenarnya kami sudah mencapai kata sepakat untuk semua hal. Eh, tapi aku dapat telpon dadakan dari klien lama yang ngajakin ketemu karena mau pakai jasa kami lagi. Jadilah aku dan Rina tetap stay di kafe sambil nunggu orangnya datang, karena lokasi orang itu juga lagi nggak jauh dari sini.

Meeting kedua berjalan lancar. Orangnya sudah punya bayangan sendiri mau seperti apa, jadi aku dan Rina nggak perlu sibuk menawarkan beberapa rancangan dekorasi. Kami cuma perlu mengembangkan idenya dan merekomendasikan bunga-bunga yang cocok untuk dipakai.

Selesai meeting  jam tujuh, aku ngajakin Rina buat dinner sambil ngobrol-ngobrol dulu. Karena aku tahu, dia sama laparnya denganku. Dari klien pertama sampai kedua kami cuma minum secangkir kopi dan sepotong kue saja. Enak juga habis kerja santai-santai dulu. Percuma juga buru-buru balik, nggak ada kerjaan lagi. Suara debur ombak dan angin malam yang berembus tenang menciptakan suasana damai yang sayang buat dilewatkan. Nggak salah milih duduk di bagian outdoor-nya. Kapan-kapan ajak Oliver ke sini kali, ya? Dia kan sudah lama nggak jalan-jalan di Bali. Makanan di kafe ini juga enak, Oliver nggak bakal kecewa deh.

Lho, lho. Kok jadi mikirin dia?

Aku menggeleng demi mengusir bayangan Oliver yang lagi tersenyum. Dasar penggoda! Biarpun lagi jauhan gini bisa-bisanya bikin aku mikirin dia.

"Kenapa geleng-geleng, Mbak? Lehernya sakit?"

"Eh, nggak." Aku tertawa kecil, ternyata Rina memperhatikan. "Ada masalah selama aku nggak ke toko?"

"Nggak ada, Mbak. Semua aman."

Syukurlah. Rina adalah asistenku, orang kepercayaan, ya bisa dibilang begitulah. Kalaupun ada masalah, tapi bisa tertangani dengan baik, Rina biasanya ngasih laporan beberapa hari setelah kejadian. Intinya, dia nggak mau ngasih aku beban pikiran lagi karena merasa itu sudah kewajibannya sebagai orang yang aku beri amanah. Bangga aku sama dia, masih muda, pekerja keras, santun juga.

"Ah, iya, Rin. Hari ini ada yang beli bouquet mawar merah, 'kan? Kamu ingat nggak orangnya gimana? Sama kayak yang beli bouquet kemarin nggak?"

Yeah, usaha orang itu belum berakhir. Pagi tadi Oliver kembali menerima paket bunga tanpa catatan. Meski nggak ada tag brand-ku, tapi aku kan hafal style rangkaian anak-anak toko. Entah sih maksudnya apaan, padahal kemarin terang-terangan menunjukkan kalau bunga itu dibeli dari tempatku.

"Mawar merah, ya? Bentar, Mbak, bentar."

Rina menyelesaikan minum dan menyapukan tisu pada bibir sebelum kembali bicara.

"Ada, ada. Orangnya beda sih sama yang kemarin."

Hemmm. Karena nggak mau aksinya langsung ketahuan, jadi orang itu menggunakan orang lain untuk bertindak. Bisa jadi dua laki-laki ini kenalan ataupun hanya orang sewaan.

"Kenapa, Mbak?"

"Ah, nggak. Next time aku cerita. Ayo, mau pesan apa lagi? Mumpung masih di sini."

"Nggak. Aku udah kenyang bangettt. Makasih, Mbakkk!"

Satisfying gitu rasanya bisa lihat Rina semringah cuma karena diajakin makan bareng. Dia tahu cara menghargai kebaikan orang lain dengan tatapan dan raut wajahnya. Ini adalah hal sederhana yang kadang-kadang masih aku lupakan.

Full of BetonyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora