5. Let's Think Again

2.2K 403 51
                                    

"Wow! Kamu mengejutkan, Olv. Kata-katamu barusan bijak banget."

Oliver tertawa kecil, walaupun aku yakin dia paham kalau aku sedang menyindir.

"Udah cocok jadi imam kamu belum?"

Cocok, sih.

"Nggak. Nggak cocok," sangkalku.

"Ya, nggak cocok buat sekarang soalnya belum jadi imam. Nanti kalau udah nikah baru cocok, ya?"

Oliver cengar-cengir coba.

"Nggak cocok buat selama-lama-lamanya pokoknya!"

Eh, Oliver malah ngakak.

Hah! Hidupmu sejak beberapa hari ini isinya penyangkalan terus, ya, Sofie?!

Ya habisnya gimana. Aku nggak mau mengakui apa pun di depan Oliver. Sekuat mungkin aku harus menunjukkan kalau dia itu nggak berarti lagi buat aku. Perpisahan kami sebelumnya nggak bisa semudah itu buat aku lupakan. Menahan rasa bertahun-tahun padanya adalah kebodohan yang nggak mau aku ulangi. Ya kali aku langsung luluh saat dia datang bawa lamaran. Di mana harga diriku sebagai perempuan? Ya, 'kann?

Benar, deh. Kalau pernikahan ini bisa dibatalin aku bakal bahagia banget. Seandainya saja ada dari pihak Oliver yang nggak setuju sama aku, wah bakal aku manfaatin deh biar Oliver cari perempuan lain saja. Lagian, ya, dengan wajah cakepnya dan kulit agak-agak kecokelatan karena matahari, siapa sih yang nggak naksir sama Oliver?

"Kita akan makan di rumahku. Mama ngundang, biar lebih dekat kata Mama. Azmi juga ada di rumah," terang Oliver setelah kami memasuki area Kuta.

Jadi gini. Oliver tadinya tinggal di Jakarta. Aku belum dengar versi detail kehidupan dia selama ini gimana, intinya mereka sekeluarga berjuang untuk menaikkan kesejahteraan hidup. Terus saat uangnya udah kekumpul, Oliver beli dua rumah di Bali. Satu rumah yang ada di kawasan Kuta untuk orang tuanya, satunya lagi di Seminyak, untuk kami kalau sudah nikah. Jujur, aku belum sempat nengok rumah mungil yang Oliver bicarakan, tapi dia menjamin aku bakal suka suasananya. Dan aku agak-agak penasaran juga sama rumahnya, secara tokoku di Seminyak. Kok kebetulan gitu, ya. Nanti kalau sudah nikah aku dekat dong kalau pergi ke toko? Eh gimana? Aduh! Masa otakku mikirin bagian itu sih?!

Ada satu hal yang aku pikirkan saat mendengar cerita Oliver. Dia ... sejak awal memang berniat kembali. Apa itu artinya dia nggak pernah melupakan aku? Dan kata-katanya yang bilang mempersiapkan masa depan buat kami itu nggak bohong?

Ngomong-ngomong, tadi Oliver menyebut nama Azmi ya? Ah, anak perempuan itu adiknya Oliver, usianya beda lima tahun denganku. Sudah dewasa berarti. Tempo hari pas nganterin Oliver pulang, itu nggak jadi. Setelah makan dia bilang mau naik taksi aja dan kasihan kalau nanti aku balik sendiri. Coba deh, artinya dia modus kan pakai alasan minta antar, padahal cuma mau makan berdua. Ck!

Itulah alasan aku belum ketemu Azmi sampai hari ini.

"Dulu dia nggak terlalu suka sama aku, loh."

Beberapa adegan lalu tiba-tiba muncul. Azmi selalu cemberut saat aku main ke rumahnya. Kalau Oliver yang main ke rumahku, Azmi juga sering ngintil. Lalu nggak lama kemudian dia bakal merengek ke Oliver buat pulang. Intinya, dia kayak nggak mau aku dekat sama kakaknya.

"Ya, itu kan masih anak-anak. Sekarang dia udah sarjana, udah mulai kerja, dan udah dewasa. Pasti pemikirannya beda, Sofie."

Beda apanya?!

Seketika saja aku ingin mengumpat atas ucapan Oliver dua puluh menit lalu di mobil. Karena apa? Karena perempuan bernama Azmi yang duduk di seberangku sedang melotot. Dari tatapannya aku sudah tahu dia masih nggak suka sama aku. Oh, nggak, salah. Dia bahkan sangat sangat sangat nggak menyukaiku. Mungkin kalau bisa dia bakal melempar gelas dalam genggamannya itu padaku.

Full of Betonyजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें