24. Confession

1.3K 207 12
                                    

Aku menggaruk-garuk telapak tangan, di sisi lain aku berharap Ray berinisiatif meninggalkanku duluan, tapi tahu itu adalah kemustahilan karena kini Ray menatapku dalam geming. Sebenarnya aku mau menangis saat ini, aku merasa terancam dan waswas. Nggak ada orang yang aku kenal, mungkin juga pengunjung restoran enggan ikut campur jika Ray nekat berbuat sesuatu padaku. Intinya aku bingung harus bersikap bagaimana, ditambah ingatan masa lalu tentang kakak kelas nggak ber-attitude kembali datang.

"Aku bisa jelasin, Sofie."

"Stay away, Ray." (1)

Bagaimana kalau aku berlari? Atau berteriak? Ya Allah.

"Nggak. Aku harus meluruskan kesalahpahaman kita. Sorry oke? I'm so sorry."

Kesalahpahaman apanya? Jelas-jelas dia adalah orang mengerikan yang membelikan barang mahal pada orang asing. Kemungkinan lainnya dia juga penguntit sehingga kami bertemu hari ini di sini. Siapa yang peduli dengan kemeja dan celana necis di tubuhnya kalau ternyata karakter seseorang nggak selalu berdasarkan penampilan?

"Ya, oke, aku jujur. Aku yang ngasih gift itu, aku yang nelpon kamu malam itu, dan cuma itu, Sofie. Aku berhenti ngirimin hadiah ataupun nelpon karena kamu yang meminta. Lihat, 'kan? Aku nggak mengerikan seperti yang kamu pikir. Serius, hari ini kita cuma kebetulan ketemu. Aku habis ada meeting di daerah Sunset Road dan akhirnya milih makan di sini."

Napasku mulai terasa pendek. Tunggu. Aku benar-benar butuh mengatur pernapasan dan emosi. Di sini ramai dan aku nggak boleh sampai menangis histeris ataupun pingsan yang disebabkan oleh ketakutan. Aku harus tenang.

"Sofie? Sof, Sofie!"

"Don't touch me." (2)

Tangan Ray yang sudah terulur seketika tertahan, lalu dia mengangkat kedua tangannya di depan dada, menandakan menyerah pada permintaanku. Aku meraih gelas milkshake-ku dengan gemetaran, berusaha agar nggak terjatuh dan segera meminumnya untuk sedikit menenangkanku. Kali ini aku merasa lebih baik, tanganku sudah nggak gemetaran saat meletakkan gelas di meja. Berkali-kali kutepuk wajah, mencoba menerima realita yang nggak terduga ini.

Ray menatapku dengan sendu, raut wajahnya seperti percampuran sesal dan sedih. Dilihat dari penampilan, Ray memang nggak menyeramkan, bahkan terkesan friendly karena saat dia tersenyum aku ngerasa nyaman lihatnya. Tapi gimana kalau di kepalanya ternyata terancang ide-ide gila untuk mendekatiku? Seperti-

"Saat kamu berpikir negatif, otakmu akan mengirimkan sinyal ke tubuhmu. Hatimu jadi gelisah, pikiranmu bisa jadi malah memikirkan hal negatif lainnya, dan alam bawah sadarmu juga mencerna itu. Tanpa kamu sadari sikapmu yang terpengaruh sama pikiran negatif tadi akan berujung menciptakan situasi di kenyataan yang tadinya hanya ada di kepalamu."

Tiba-tiba dialog itu muncul di kepalaku. Ayah benar. Di situasi seperti ini aku harus tenang, jangan berpikir negatif lagi. Oke, oke, aku bisa melakukannya.

"Sofie, trust me, I won't hurt you. I just ... just ...." (3)

Aku membalas tatapan Ray dengan tajam.

"You just haunt and scared me. Am I right?" (4)

Dengan keras Ray membantah melalui gelengan. Dia makin terlihat resah karena berkali-kali meletakkan telapak tangan di bibir.

"Kamu nggak bisa jawab-"

"I like you, Sofie. Just that." (5)

What?!

"Kamu lagi ngajak bercanda, ya?"

Aku melotot padanya. Melihat raut wajahnya yang belum berubah, seketika aku makin kacau. Beneran? Kok bisa? Sejak kapan?

Full of BetonyWhere stories live. Discover now