12. Trust Issue

1.8K 339 50
                                    

Setelah tangisku mereda, Oliver melanjutkan ceritanya tentang dia yang kukuh ingin berhenti dari kafe itu, tapi si janda kaya melakukan hal sebaliknya. Oliver dikatai munafik, kemudian ditanya butuh apa lagi agar mau berada di sisi wanita tersebut. Dan sampai akhir Oliver menolak, dia benar-benar pergi dari kafe itu.

Tiga bulan berlalu sejak kejadian itu, Oliver belum dapat kerjaan tambahan lagi. Saat itulah musibah lain datang, Oliver masuk rumah sakit karena perutnya bereaksi pada mie instan yang hampir setiap hari dikonsumsi. Lalu drama lainnya terjadi, si janda mendatangi Oliver yang saat itu masih dalam masa rawat inap.

"Aku kira kamu menolak karena ingin mencari yang lebih kaya, tapi ternyata selama ini kamu jadi anak baik, ya. Kamu membuktikan kalau masih ada orang yang punya harga diri."

Dari kalimat itu Oliver sudah menyimpulkan kalau selama ini dia diawasi. Kengerian yang Oliver rasakan saat itu jelas nggak sebanding dengan kengerian ketika aku hanya sekadar mendengar ulang. Tapi hidup Oliver berubah saat itu. Si janda itulah yang akhirnya mengeluarkan Oliver dari kehidupan serba pas-pasannya. Oliver nggak lagi dianggap sebagai laki-laki tanpa harga diri, melainkan dianggap sebagai adik angkat.

Monica, itu nama yang Oliver sebutkan. Oliver memanggilnya Kak Monic.

"Kak Monic ngasih aku rumah sebagai tempat tinggal, dengan catatan Mama dan Azmi merawatnya secara khusus. Kakak nggak mau rumahnya kotor sama sekali. Setiap kali berkunjung, yang dia harapkan rumah itu bersih. Papa jadi sopir pribadi Kakak, gajinya jauh lebih besar dibandingkan kerja di pabrik. Dan aku yang masih kuliah dikasih tanggung jawab menyelamatkan bisnis travel yang hampir bangkrut."

Sebenarnya aku nggak benar-benar tenang. Oliver, bahkan keluarganya berhutang budi pada Monic. Lalu bagaimana jika tiba-tiba Oliver disuruh membayar semua itu dengan tubuhnya? Dan kenapa dia akhirnya menerima bantuan dari orang itu? Seharusnya dia tahu risiko besar apa yang bakal dihadapi, 'kan?

"Kamu pasti mikir macam-macam, ya."

Aku mengangguk-angguk.

"Gimana kalau tiba-tiba dia datang dan nyuruh kamu buat mengabdi sama dia?"

Oliver tersenyum sambil menepuk-nepuk pelan telapak tanganku.

"Aku belum selesai cerita. Kamu dengar dulu."

Ah, iya, ya. Dia belum menceritakan sampai akhir.

"Awalnya aku menolak, karena takut hal itu akan dimanfaatkan. Tapi saat itu Kak Monic bilang gini, "Kalau kamu takut, kapan kamu akan sukses? Aku nggak akan ngasih ini secara cuma-cuma, ada syaratnya. Yang pasti kalau kamu ngelepas kesempatan ini, kamu yang akan rugi.". Aku sempat diam sebelum setuju untuk dengerin syarat dari Kakak."

"Dia ngasih aku waktu dua tahun untuk membangkitkan bisnis travel yang bisa kubilang udah nggak ada nyawanya lagi. Kalau dalam dua tahun itu aku gagal, rumah yang kami tinggali secara gratis akan diambil lagi, Papa juga akan diberhentikan dari pekerjaannya. Ngebagi waktu untuk kuliah dan memikirkan perusahaan itu sama sekali nggak mudah. Enam bulan pertama aku mau nyerah karena sama sekali nggak dapat investor untuk travel itu. Aku juga nggak ada pengalaman untuk mengurus bisnis."

"Tapi akhirnya kamu berhasil?" tebakku, setelah mengingat betapa mapannya Oliver sekarang.

"Ya, aku berhasil. Masuk tahun kedua strategi pemasaranku akhirnya ada hasil. Investor mulai berdatangan. Tahun ketiga kami udah meluncurkan aplikasi yang sangat membantu perkembangan perusahaan. Masa itu liburan panjang dan kami menawarkan harga tiket pesawat ataupun hotel lebih murah dari yang lain. Karena kami fokus pada kelangsungan jangka panjang, bukan cuma keuntungan besar sesaat aja. Dan ya, begitulah. Sebelum lulus kuliah, bisa dibilang aku udah punya penghasilan yang lumayan. Tapi itu belum cukup untuk membawa aku berani ketemu kamu."

Full of BetonyWhere stories live. Discover now