3. Pounding Heart

3.6K 541 64
                                    

Kata-kata penyangkalan yang hendak aku sampaikan nggak ada artinya lagi. Tanganku ditarik kuat oleh Tante Reni, lalu aku dipeluk, bergiliran. Mereka tersenyum bahagia, sedangkan aku masih mencoba bersikap waras.

Aku siapa? Aku di mana? Kenapa aku ada di antara kerumunan orang yang sedang bahagia?

Ha! Aku bisa nggak waras beneran kalau gini ceritanya. Oliver senyum-senyum terus sejak tadi. Sama sekali nggak memperlihatkan penyesalan dan rasa bersalah. Karena dia keadaan makin kacau. Aku mau menolak tegas perjodohan ini, tapi nyaliku ciut saat melihat Ayah dan Bunda tersenyum tulus.

Kalau aku langsung menolak di sini, pasti mereka tetap nggak mau dengar. Aku harus memikirkan sesuatu agar Ayah dan Bunda setuju pembatalan perjodohan ini. Nanti kalau Oliver dan orang tuanya sudah pulang, aku harus bicara sama orang tuaku. Kalau diberi pengertian, harusnya mereka paham, 'kan, kalau ini cuma kesalahpahaman?

Argh! Cicak! Ini berawal dari Farel yang memancing emosiku. Nggak paham dia taruh otaknya di mana, sih? Bisa-bisanya nyuruh aku jalan sampai ke depan sana terus sambil ngomong nggak sopan tentang Ayah. Mataku selama ini tertutup sama janji-janji manisnya yang bilang bakal sayang sama aku dan keluargaku. Bohong! Belum menikah saja dia berani nggak nunjukkin rasa hormat ke Ayah? Gimana kalau sudah nikah? Sudah kebayang dia bakal jadi menantu durhaka.

Sofie, Sofie, bisa-bisanya pacaran sama orang kayak gitu. Apa yang dia bilang tentang Ayah bukan hal remeh buat aku. Dia nggak tahu gimana sayangku ke Ayah yang sudah berjuang sampai aku segede ini. Walau aku masih sering bandel dan nggak nurutin semua nasihat Ayah, tapi aku selalu berusaha buat introspeksi dan mengubah keburukan aku.

Terus dia siapa berani-beraninya ngomong pakai nada meremehkan gitu? Belum jadi suami sudah belagu, sudah ngatur-ngatur, apa kabar kalau nanti aku resmi jadi punya dia. Bisa-bisa buat ketemu Ayah pun aku dibatasi.

"Karena Sofie juga mau cepat, gimana kalau nikahnya tanggal dua puluh aja? Sekarang tanggal satu, masih ada banyak waktu buat siapin semuanya. Oliver punya kenalan WO. Gampanglah itu. Gimana, Bu, Pak?"

H

ubunganku dulu dengan Tante Reni nggak ada masalah. Tapi nggak sangka juga Tante bakal se-excited ini sama rencana pernikahanku dan putranya. Lihat, wajahnya itu berseri-seri. Biarpun lagi ngomong, senyumnya kayak nggak bisa hilang. Seserius ini mau jadiin aku mantu, padahal nggak ketemu belasan tahun. Belasan tahun, loh, bukan belasan hari!

"Setuju, setuju. Seperti obrolan sebelumnya, Oliver yang bakal tanggung jawab untuk ngurusin semua keperluan. Kami tinggal tunggu instruksi kalau ada yang bisa dibantu. Begitu, 'kan, Bu Reni?" Bundaku nggak kalah semangat.

"Iya, iya, betul. Bu Maya sekeluarga cukup nunggu aja. Paling nanti kebagian wara-wiri buat fitting pakaian dan konfirmasi kalau semua persiapan sesuai kemauan Bu Maya sekeluarga. Dana nggak usah dipikirin."

"Loh, dana dari dua keluarga harusnya, Bu. Iya, 'kan, Yah?"

Ayahku angguk-angguk.

"Nanti aja kalau kurang. Kami sekeluarga udah siapin dana. Pokoknya Sofie mau jadi menantu kami aja senangnya bukan main. Nggak salah Oliver pilih istri. Alhamdulillah Sofie juga mau."

Heh? Nggak salah, nih? Apa yang mereka lihat dari aku sampai nggak menanyakan dulu kualifikasi yang aku punya untuk jadi seorang istri?
Hal lain yang nggak aku habis pikir, seserius itu Oliver mau nikahin aku. Pendanaan untuk pernikahan pun dia mau tanggung sendiri. Memang aku yakin acaranya juga nggak bakal mewah-mewah amat. Tapi, pakaian pengantin plus keluarga, catering, undangan, dekorasi, dan tetek bengek lainnya sudah pasti biayanya lumayan. Mimpi bukan, sih? Ada gitu calon suami kayak dia yang nggak mau ngerepotin keluarga calon pengantin perempuan?

Full of BetonyWhere stories live. Discover now