17. End of the Drama(2)

1.4K 280 18
                                    

Terkadang aku bertanya seperti apa rasanya memiliki seorang adik kandung, sekarang aku sudah tahu jawabannya. Hatiku terobrak-abrik kala memeluk Azmi yang masih menangis dengan tubuh gemetar. Aku sudah lupa dengan semua tingkah kasar dan ucapan ketusnya selama ini. Sepertinya nggak ada lagi yang mau aku bicarakan saat aku sendiri ternyata terluka karena melihat Azmi terkurung kesedihan. Dia hanya butuh lebih banyak perhatian, sehingga kecemasannya lenyap. Aku semakin paham bahwa yang dia inginkan adalah keyakinan bahwa Oliver akan tetap menjadi kakaknya yang penuh sayang.

Memaafkan itu memang susah buatku, karena aku bukan tipe orang berjiwa besar. Tapi, ketika aku melihat alasan dari tindakan seseorang serta faktor-faktor lainnya, aku bisa saja memberi permakluman. Aku susah memaafkan Anggi, sebab dia adalah perempuan dewasa yang sudah bisa membedakan benar serta salah dan jiwa mentalnya dalam keadaan normal. Kecurangannya berkomunikasi dengan Farel yang saat itu masih jadi pacarku, nggak bisa aku toleransi. Anggi pun nggak menyesal sudah ngincar Farel. Intinya, menurutku kasus Anggi dan Azmi beda.

"Azmi nggak sengaja, Kak. Azmi minta maaf. Azmi takut Kak Sofie kenapa-kenapa."

Ternyata Azmi yang asli sangatlah santun. Pasti untuknya juga lelah selama ini menjadi pembenci, tapi dia merasa nggak punya pilihan lain demi mempertahankan apa yang dia miliki. Kasih sayangnya pada Oliver terlalu besar dan Azmi takut kehilangan, walau nggak ada ancaman berarti.

"Kakak nggak kenapa-kenapa. Ssttt. Tenang, ya."

Aku menepuk-nepuk pelan punggung Azmi, berusaha meyakinkan kalau aku memang baik-baik saja.

"Azmi nyesel, Kak. Maafin Azmi. Azmi takut. Azmi nggak maksud bikin Kakak tabrakan."

Kalau dengan kecelakaan ringan tadi bisa membuat Azmi seterusnya sadar, aku rela, aku nggak marah, aku nggak dendam. Nggak akan ada sesal di hatiku karena sedikit berkorban demi Azmi yang bisa melihatku tanpa rasa benci lagi. Setiap orang akan mencapai titik yang membuatnya memutar haluan, 'kan?

"Iya, Kakak tahu. Udah, udah, jangan nangis lagi. Kamu harus kerja, 'kan? Kakak antar, ya? Atau kalau boleh libur mendadak, mending kamu istirahat dulu."

"Sofie, kamu lupa aku masih di sini?"

Ups! Iya, aku beneran lupa kalau Oliver masih marah dan ingin tahu kronologi sebenarnya.

Azmi melepaskan pelukanku dengan wajah yang masih pucat. Oliver berdiri di dekat kami, menatapku dan Azmi bergantian.

"Kak, maafin Azmi. Azmi salah."

Air mata Azmi kembali menetes, padahal barusan dia sudah nggak nangis.

"Kakak perlu tahu permasalahannya, Azmi."

Aduh, gawat. Azmi kan anak yang labil, terus saat ini jiwanya juga sedang berguncang. Aku khawatir kalau Azmi dituntut untuk mengakui semua kesalahannya saat ini, bisa-bisa dia kembali nggak terkendali. Siapa yang tahu, 'kan, dia bakal terprovokasi atau nggak kalau Oliver nanya macam-macam?

"Azmi-"

"Aku yang jelasin, Olv. Biarin Azmi pergi."

"Kamu bermaksud menutupi kesalahan Azmi? Kamu yang ngasih tahu aku kalau Azmi dorong kamu, Sof. Aku mau tahu semuanya sekarang. Nggak ada pembelaan untuk tindakan kejahatan siapa pun pelakunya."

Lho? Wajah Oliver makin nggak enak. Bahasanya juga nggak kelihatan bercanda. Setiap kata yang Oliver keluarkan sangat tegas, sampai aku deg-degan kalau ternyata dia bakal mengeluarkan kalimat lebih pedas dari ini."

"Iya, iya. Tapi lihat dong keadaan Azmi. Tega kamu sama adik yang udah ketakutan gini? Better kamu anterin dia kerja, terus balik lagi ke sini. Nanti aku jelasin semuanya. Janji."

Full of BetonyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt