2. Approved

4.3K 620 40
                                    

Selama ini aku nggak pernah lagi mengharapkan dia. Tepat di lima tahun kepergiannya, aku sudah merelakan semua kenangan masa lalu. Kami nggak pacaran, tapi interaksi kami dulu rasanya lebih dari sekadar teman. Oliver temanku sejak SMP, rumah kami cuma berjarak lima rumah saja. Setiap hari pergi dan pulang sekolah bareng.

Nggak ada yang berani deketin aku untuk niatan PDKT atau pacaran. Oliver selain jadi teman dekat, dia juga merangkap jadi bodyguard. Tatapannya bakal nyeremin banget sewaktu ada yang deketin aku. Mau kakak kelas pas SMA pun dia nggak peduli. Aura nggak suka dan gelap itu bakal dia tunjukkan. Nggak segan-segan, dia pernah bikin onar di kantin karena ada cowok yang berani nepuk bokongku. Cowok itu dihajar abis-abisan sama Oliver. Dia kayak orang kesurupan. Akhirnya dia berhenti mukulin setelah aku teriak berkali-kali sambil nangis ketakutan.

Sejak itu dia makin posesif jagain aku dari mata dan tangan-tangan nakal. Aku yang mulai aneh sama perhatiannya, memberanikan diri untuk bertanya. Karena untuk status teman dekat, perlakuan dia teramat istimewa. Mana ada teman biasa yang ikut jalanin hukuman lari lapangan karena telat datang? Nggak cuma itu, Oliver juga suka kasih nyontek PR-nya kalau aku belum bikin. Dan ... dia ngasih contekan khusus buat aku saja. Bahkan Oliver pernah putus sama pacarnya gara-gara dia lebih milih nganterin aku pulang saat kesakitan karena hari pertama datang bulan.

"Kita ini sebenarnya apa, Olv?" tanyaku hari itu.

Dia tetap bersikap santai. Mungkin sudah menduga kalau aku akan bertanya begitu. Tatapannya yang teduh mengiringi genggaman Oliver di tanganku. Aku memiringkan kepala, menanti jawaban atas pertanyaan dan sikapnya ini.

"Aku sayang kamu, tapi aku takut ngikat kamu dengan status pacaran. Kalau kamu juga suka aku, kamu bisa nunggu sampai aku siap ngelamar kamu, 'kan?"

Omong kosong! Semua kata-kata manisnya dulu nggak berarti lagi. Sebelas tahun pergi tanpa kabar, dia kira aku masih bersedia nikah sama dia?

"Kalau mau nangis lebih keras, nangis aja."

"Aku nggak tahu apa yang ada di kepala kamu sampai dengan percaya dirinya datang ngelamar aku."

Kuusap-usap wajah. Gara-gara ingat masa lalu, aku jadi nangis. Padahal aku nggak mau terlihat lemah di depan dia. Selama ini padahal aku sudah baik-baik saja. Cuma karena Oliver, luka lamaku kebuka lagi.


Harus kuapakan laki-laki nggak tahu diri ini, ya? Menendang betisnya atau titik vitalnya? Gigit tangannya terus jambak rambutnya? Parah! Aku berimajinasi nggak normal karena terlalu kesal sama dia.

"Kita pernah janji nikah, Sof."

"Are you crazy, Dude?"

Itu janji yang sudah kadaluwarsa.

"Yeah. You are driving me crazy."

Jangan nabok, Sof, jangan nabok.

"Kenapa kamu nggak mau nikah sama aku?"

Meh! Perlu ditabok beneran kali, ya, biar otaknya bisa berfungsi dengan baik?

"Kamu ghosting aku bukan setahun dua tahun. Begok apa gimana, sih?"

Tuh! Mulut aku kalau sudah kesal memang suka nggak ada remnya. Terserahlah mau kayak gimana reaksinya. Bagus juga kalau gara-gara aku ngomong kasar dia batalin niatnya ngelamar aku. Siapa juga yang mau nikah sama laki-laki nggak tahu malu gini?

"Iya, iya, aku begok, tolol, nggak ada otak. Emmm apa lagi ya, Sof?"

Kuhela napas panjang. Dari tadi aku nggak mau lagi natap wajahnya. Tapi dengar ucapannya barusan kok jadi gemas, ya? Pengen noleh ke dia, dekatin wajah, terus gigit apa yang bisa aku gigit dari dia sampai dia kesakitan.

"Aku udah punya pacar."

"Aku tahu."

"Ya udah, batalin niat kamu nikahin aku."

"Sofie, yang cuma berani ngajak jalan tanpa kepastian bakal kalah sama yang berani datang bawa lamaran. Gitu aja nggak paham."

Jleb! Aku tertohok banget. Memang, sih, Farel nggak ada ancang-ancang buat ngelamar aku. Jangankan ancang-ancang lamaran, dia datang ke rumah saja mesti dipaksa-paksa dulu karena malas setiap diajak ngobrol sama Ayah terus bahasannya ke mana-mana. Farel bilang nggak nyaman sama sikap ayahku yang belum apa-apa sudah bawel duluan.

Yah, sebenarnya itu menjengkelkan banget saat dia bilang kesal sama Ayah. Tapi kan kami sudah pacaran, aku juga nyaman sama dia, jadi aku pikir berjuang biar dapat restu Ayah itu sudah kewajiban.

"Aku nggak suka sama kamu."

"Bohong. Kalau nggak suka, kenapa belum nikah? Jangan denial. Kamu masih nunggu aku, 'kan?"

Ya Allah! Makhluk absurd dari mana, sih, dia? Memangnya kalau aku belum nikah harus banget gitu ada kaitannya sama dia?

"PD kamu dari dulu nggak berubah, ya."

"Manisnya kamu saat marah juga nggak berubah, Sofie, dari dulu."

Blush! Aku paling nggak tahan kalau digombalin dengan nada rendah gini. Pengen aku tabok bibirnya!

"Makin manis kalau lagi nahan mukul aku," komentarnya lagi.

Habis sudah kesabaranku. Tanganku sudah bergerak, lalu mengambang di udara. Kutarik lagi tangan dan kembali melihat ke langit. Nggak jadilah mau mukul bibirnya. Lihat dia senyum lebar penuh kemenangan gitu bikin tambah mual.

"Aku tahu terlalu kurang ajar baru kembali sekarang. Ini lebih baik daripada aku makin menyesal nggak nemui kamu sama sekali. Sorry."

"Nggak ada telpon, nggak ada pesan selama sebelas tahun. Bukannya lebih baik kamu nggak pernah kembali?"

Sampai sekarang aku nggak paham kenapa dia mau nikah sama aku. Aku yang bodoh mengharapkan dia dulu, padahal sudah jelas kami pacaran pun nggak. Kalaupun dia beneran nggak pernah kembali, aku belajar ngerti. Mungkin dia ketemu yang lebih baik dari aku. Tapi ceritanya jadi beda sekarang. Apa yang sudah tersusun rapi jadi kacau.

"Setelah sampai di Jakarta, tas aku hilang. Ada HP dan dompet di sana. Kelupaan saat aku turun dari bus, pas balik udah nggak ada tasnya. Udah ditelurusi, makan waktu lama, tetap nggak ketemu."

Basi banget nggak, sih?

"Aku beli HP baru, siap ngehubungi kamu lewat media sosial. Tapi, Sofie, ada kejutan lain buat aku sekeluarga. Kantor Papa ngalamin kebakaran hebat. Bangunan tersisa 30% aja. Perusahaan butuh recovery besar-besaran dan semua pegawainya hanya sekadar dapat uang makan karena dirumahkan."

Ah .... hatiku nggak enak. Aku menggerakkan badan, menghadap Oliver untuk meneliti ekspresinya. Dia nggak kelihatan bercanda. Wajahnya serius banget dengan tatapan lemah. Seketika aku ngerasa bersalah.

"Maaf, aku nggak tahu apa pun tentang itu."

"Bukan salah kamu. Aku emang nggak mau kamu tahu. Sebelas tahun ini kami memperbaiki ekonomi. Semua tabungan habis saat nunggu Papa dapat kerjaan baru. Mamaku tahu sendiri, 'kan, nggak kerja? Kondisi keluargaku berantakan, Sofie, itu yang bikin aku memilih menghilang. Aku nggak punya apa-apa untuk menjamin kamu bisa bahagia saat itu sama aku. Aku butuh kerja dan menghasilkan biar orang tuamu nggak ragu nerima pinangan aku."

"Mau balik ke Bali pun kami nggak punya apa-apa. Rumah itu cuma ngontrak. Dan kamu tahu alasan kami pindah karena Papa dapat kerjaan dengan gaji yang lebih tinggi daripada di sini. Saat itu aku nggak punya persiapan untuk bicara sama kamu lagi. Aku malu, merasa jadi pecundang yang hanya mengandalkan cinta untuk mendekati kamu."

Sedikit banyak aku bisa membayangkan kondisi Oliver masa itu. Hidup di kota besar pasti membutuhkan banyak biaya. Oliver dan adiknya masih bersekolah, sedangkan nggak ada lagi income pasti setiap bulan. Itu pasti masa-masa buruk buat dia. Tapi ....

Aku berhenti menatapnya. Rasa panas kembali menjalari hati dan wajahku. Alasan itu nggak bisa dijadikan kompromi atas sikap dia. Mungkin masa itu Oliver sibuk sekolah dan cari kerjaan tambahan. Tapi ... bukannya keterlaluan kalau aku juga jadi dilupain?

"Aku pernah benar-benar merelakan kamu, Sofie. Aku ngerasa kamu jauh banget biar bisa aku gapai saat itu. Aku sibuk kuliah dan kerja part time. Berhubungan lagi dalam keadaan kayak gitu cuma menambah beban kamu. Aku bakal jarang ada waktu untuk melakukan chat dan telponan. Bayangin aja gimana ngenesnya udah LDR, nggak komunikasi juga."

Nggak, aku tetap nggak nerima alasan itu.

"Aku sibuk sama persiapan masa depan kita, Sofie. Aku di sini hari ini karena udah menyelesaikan semuanya. Mental dan finansial aku udah memadai untuk membawa kamu ke pernikahan."

"Tapi kamu ngelupain hati aku yang patah."

"Kasih aku kesempatan menyembuhkan kamu dalam pernikahan, ya? Aku datang ke sini dengan niat tulus."

Rasanya semua usahaku buat move on dari dia gagal. Hatiku sakit lagi ngebayangin tahun demi tahun nunggu kedatangannya. Aku pernah mengira dia sudah menikah, punya istri cantik, dan anak-anak yang lucu. Dulu, aku pikir saat tanpa sengaja kami bertemu, aku bakal pura-pura nggak kenal saja.

Sekarang dia di sini, datang membawa kejutan besar, menghancurkan pelan-pelan keteguhan yang sedang aku pertahankan. Nggak munafik, dia memang ganteng, wajahnya kalem dan menggoda, dada sama punggungnya lebar, fisiknya semua sempurna. Perempuan mana yang nggak deg-degan kalau dikedipin laki-laki kayak dia ini?

Tapi ... pernikahan bukan bercandaan, bukan suatu hal yang bisa dihentikan jika lelah atau bosan. Pernikahan itu sakral, aku mau melakukannya sekali saja dalam hidupku. Dan Oliver ... dia bukan yang aku mau. Lukaku bakal terus-terusan menganga kalau kami terikat status legal. Nggak kebayang gimana aku tinggal di atap yang sama, tidur di samping dia, apa-apa sama dia. Nggak. Aku nggak bisa.

Tampang dan finansial yang memadai nggak menjamin kalau pernikahan itu bakal baik-baik saja. Aku butuh kenyamanan, butuh tempat untuk pulang, butuh sosok yang bakal selalu dampingi aku di semua situasi. Oliver memang pernah menjadi sosok yang aku idamkan, tapi ... dia juga pernah ninggalin aku begitu lama.

"Menyerah aja, Oliver. Kita nggak ditakdirkan bersama."

"We can rewrite the stars."

Aku menggeleng yakin. Ada ketakutan besar yang membelenggu, yang menahan langkahku untuk berjalan bersama Oliver. Jarak yang ada terlalu panjang. Kami mungkin nggak lagi bisa berkomunikasi dengan baik. Sementara, aku ingin pernikahan yang hangat. Oliver ... bukanlah calon yang tepat. Nggak ada jaminan kalau dia akan tetap bersamaku dan nggak pergi lagi.

"Aku akan bilang ke orang tua kita kalau lamaran ini aku tolak."

"Sofie ...."

Panggilannya kuabaikan karena ponsel di saku celanaku berdering. Senyumku mengembang saat melihat nama yang tertera di layar.

"Ya?"

"Jadi malam mingguan, 'kan, Yang? Aku tunggu di pintu masuk kompleks kamu, ya. Aku nggak usah mampir ke rumah kamu."

Senyumku seketika lenyap. Farel menambah buruk mood-ku.

"Seriously, Farel?"

Aku nggak percaya dia bakal ngomong gini. Rencananya kami memang mau nge-date, janjian setengah jam lagi harusnya. Mungkin akan aku cancel, mengingat jalan sampai ke depan sana jalan kaki dan ada laki-laki yang nunggu aku dengan mobilnya itu nggak enak banget buat dilihat. Dia nggak mikir dampak yang bisa saja terjadi. Apa yang bakal orang simpulkan kalau ngelihat aku kayak gitu?

"Serius, Sayang. Aku malas ke rumah, ditanya-tanya lagi sama bapak kamu. Belum juga jadi mertua, tapi udah sok ngatur. Udah tua harusnya diam aja, sih. Kita ketemuan di luar aja ya, Sayang. Biar ayah kamu nggak bawel."

Bukan sekali dua kali Farel ngomong gini, tapi kali ini sampai nyebut Ayah tua. Dia nggak salah, ayahku memang sudah tua. Sudah enam puluh tahun. Hal itulah yang bikin aku marah bukan main. Apa masalah dia sampai berani ngatain ayahku bawel? Dia sendiri yang nggak layak sebagai calon menantu, tapi kenapa malah kesal ke Ayah?

Dadaku terasa penuh. Otakku sudah memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi. Terserahlah. Aku nggak peduli lagi. Sudah muak selama ini dengar ocehan Farel yang mempermasalahkan sikap Ayah. Aku mencoba berkompromi, mengajaknya berjuang bersama demi restu.

Sia-sia. Lima bulan ini ternyata aku membuang waktu gitu saja. Ayah benar, Farel bukan sosok yang pantas dijadikan suami. Aku yang bodoh mau mempertahankannya padahal Ayah sudah bilang nggak suka.

"Farel ...."

"Ya, Sayang. Aku udah otw, kok. Di depan kompleks, ya."

"Kita putus. Aku akan segera nikah dalam bulan ini. Calonnya ada di sini lagi ngelamar aku."

"Sofie, jangan bercanda."

"Aku serius. Kamu bakal aku kirimin undangannya."

"So-"

Panggilan kuputus sepihak. Ha! Aku meremas ponsel untuk menyalurkan kekesalan dan kemarahan ini. Nggak sangka aku beneran memilih laki-laki yang salah. Ayah sudah bilang, tapi aku tetap saja bandel. Gimana aku bisa nikah sama laki-laki yang nggak naruh hormat ke orang tuaku?

Sia ... cicak! Argh! Mau mengumpat kasar, tapi Ayah selalu marah kalau tahu. Ha! Cicak! Cicak! Cicak! Kesal!

"Jadi aku diterima."

Aku menoleh ke samping. Kyaaa! Gimana aku bisa lupa kalau ada Oliver di sampingku?! Double cicak!

"Itu ... itu ... omongan saat emosi doang. Jangan dimasukin ke hati."

"Pembelaan ditolak."

"Oliver, ini salah paham."

Oliver tersenyum lebar, terus berlari dan aku ikut lari karena ada feeling nggak enak. Benar saja, sampai di ruang tamu dia teriak, "Sofie udah bilang setuju sama Oliver! Dia mau nikah dalam bulan ini! Alhamdulillah!"

Aku ternganga di ambang pintu, mendengar semua orang mengucapkan syukur. Nggak gini rencananya, nggak gini. Oliver membalik tubuh dan tersenyum puas. Sia ... triple cicak! Kesal! Kesal!


To be continued

Apa sih yang kamu harapkan bakal ada di cerita ini?

Follow ig @putriew11

Lav,
Putrie

Lav,Putrie

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Muka bete abis bikin kesalahan 😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Muka bete abis bikin kesalahan 😂

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang