27. Gentle Love

1.8K 277 52
                                    

Rasa sakit di perut membuatku terjaga perlahan. Kantuk yang belum bisa kuusir sepenuhnya sungguh menjadi godaan untuk kembali menutup mata. Sayangnya, perasaan lembab di bawah sana sangat mengganggu, sehingga aku langsung turun dari ranjang. Aku menepuk dahi saat melihat seprai merah muda itu terkena noda merah.

Ya ampun. Aku nggak memperhatikan tanggal dan nggak berjaga sama sekali atas periode bulanan ini. Huhuhu. Perutku bahkan sangat melilit sampai aku gemetaran mau berjalan ke kamar mandi.

Ketika aku tertatih menuju kamar mandi, Oliver muncul dari balik pintu utama. Matanya melebar melihatku yang meringis dan pastinya karena dress-ku kotor.

"Olv, sakit," rengekku nggak bisa ditahan.

Oliver gegas menghampiriku dan menggendongku ke kamar mandi.

"Masih nggak berubah, ya?"

Aku mengangguk lemah. Oliver mendudukkanku di closet, sedangkan dia mencari-mencari barang itu di laci kamar mandi. Mau malu, tapi ini Oliver yang dari jaman SMA memang selalu ada setiap aku datang bulan. Dia bahkan pernah beliin aku pembalut. Sekarang ya aku makin pasrah saja dibantu dia, karena beneran nggak kuat berdiri.

"Sof, nggak ada. Abis ya?"

"Ada, kok. Itu yang kotak warna biru kuning."

"Ini?"

Oliver mengambil satu tampon dari kotak yang aku maksud.

"Iya, sini."

"Ini gimana cara pakainya? Dimasukin?"

Please, wajah polosnya itu bikin aku gemas. Kan bisa nggak usah diperjelas dari bentuknya. Kalau nggak dimasukin, ya kali digeletakin gitu saja. Dia bahkan berlutut sambil membolak-balik tampon itu.

"Kepo banget, Olv."

"Serius dimasukin? Kok ngeri, Sof? Kenapa nggak pakai kayak yang dulu-dulu?"

Astaga. Beneran kepo dia.

"Lebih bersih aja rasanya. Udah deh, jangan tanya-tanya lagi. Sana keluar, cariin aku pakaian di lemari."

"Nggak mau aku bantu pakai? Aku totalitas lho, Sof."

"Heh! Sana keluar! Katanya OCD, kok nggak jijik sama yang ginian?!"

Kan, jadi marah-marah lagi aku, padahal nggak bermaksud.

"Ya gimana, dibanding istri kesusahan, nanti kan aku bisa mandi dua jam sebagai gantinya. Lagian, Sof," Oliver berdiri sambil tersenyum, "udah terlambat kamu ngingetin OCD-ku."

Tadinya aku nggak ngerti maksud Oliver, tapi saat dia melangkah mundur, aku baru bisa melihat kalau kemeja Oliver terkena noda juga. Ya ampun. Pasti dia aslinya pengen buru-buru mandi sekarang.

"Sorry," kataku penuh sesal.

"Never mind. Nanti bajunya aku gantung di kenop pintu, ya."

Sebelum berlalu, Oliver mengecup keningku. Perasaan disayangi olehnya benar-benar nggak bisa aku sangkal lagi. Ada banyak hal yang aku kagumi dari Oliver, kesabarannya, caranya memujiku, cara memperlakukanku, dan tentang dia yang menunggu aku siap untuk momen mendebarkan itu. Tiga jam lalu saat dia membawaku ke ranjang, kami sempat berada dalam posisi yang, aduh bikin gerahlah kalau dijelaskan. Tapi Oliver menghentikan imajinasi liarku dengan mengatakan bahwa aku sendiri yang harus menyanggupi jika benar-benar sudah siap. Akhirnya kami tidur siang dengan berpelukan, terus ya gitu, sewaktu aku bangun Oliver malah datang dari luar. Bisa jadi ngobrol sama Ayah dan Bunda.

Baik, perhatian, ganteng, ngasih nafkah, sayang keluargaku, penyabar. Duh, apa coba kurangnya Oliver? Kan aku memang pengen suami yang kayak gitu.

Aku sudah selesai membersihkan diri dan memakai pakaian baru. Saat hendak keluar dari kamar mandi, Oliver sedang berdiri di depan pintu. Tanpa bilang apa-apa, dia gendong aku dan mendudukkanku di kasur. Eh? Seprainya sudah ganti? Nggak mungkin Oliver yang ganti, 'kan?

Full of BetonyWhere stories live. Discover now