21. Better that We Break(1)

1.3K 312 104
                                    

Ponselku nggak ada sepinya sejak tadi, sudah pasti keluarga kebingungan tentang pembatalan rencana secara mendadak dan aku yang belum angkat suara sama sekali. Kemungkinan selanjutnya karena aku nggak menjawab panggilan adalah mereka yang datang ke sini. Terutama Bunda dan Ayah paling tahu kalau pelarian saat aku lagi di titik yang sangat melelahkan atau sedih adalah bunga-bunga di tokoku.

Benar saja, nggak butuh berlama-lama mereka semua mendatangi tokoku dengan wajah cemas. Aku berusaha biasa-biasa saja walau melihat hijab dan dress Bunda sampai bergoyang-goyang karena tubuh pemakainya setengah berlari untuk menghampiriku yang sedang menata bunga di vas.

"Sofie," Bunda memanggil, lalu menarik siku kananku sehingga sebatang lili oranye batal aku masukkan ke vas.

"Ya, Bunda. Kok, pada rame-rame ke sini? Ada apaan?"

Aku tersenyum pada Ayah, Papa, Mama, dan juga Azmi. Nggak satu pun ada yang membalas senyumku, termasuk Bunda. Bedanya, Bunda memelukku erat sambil mengusap-usap punggungku.

"Kamu pengen apa? Mau makan yang manis, nggak? Bunda temenin, ya?"

"Sofie nggak mau apa-apa."

Pelukan Bunda nggak aku balas, tapi lili di tanganku kuremas sebagai pelampiasan emosi yang hampir mencuat, lalu kulempar secara kasar ke lantai. Aku berusaha mengalihkan pikiran lewat bunga saat hatiku benar-benar terluka, sayangnya kedatangan keluarga membangunkan rasa marah dan kecewa yang aku coba tidurkan.

"Sofie, ngomong sesuatu, ya? Bunda khawatir kalau kamu diam gini."

Bunda melepaskan pelukan, kini matanya basah. Nggak perlu aku tanya atau ragukan apa alasan Bunda bersedih. Tapi saat ini aku ketakutan akan menggila kalau buka suara tentang kejadian tadi.

"Mama minta maaf ya, Sofie."

Aku menggeleng.

"Bukan salah Mama. Bukan salah siapa-siapa. Sofie nggak apa-apa, kok."

Di akhir kalimat, aku menambahkan senyum, sayangnya hal itu seperti membuatku kian menyedihkan karena mereka semua tetap nggak tersenyum. Suasana semakin canggung dan aku nggak bisa bersandiwara lebih baik dari ini. Untuk berjaga-jaga, aku menyuruh Rina menutup toko dan membiarkan anak-anak untuk nongkrong di kafe seberang selama para keluar masih di sini.

"Nak Sofie mau pulang ke rumah kami dulu? Kita bicara di rumah, ya?" Papa terdengar tulus karena eskpresi wajahnya mendukung.

Mama dan Azmi juga terlihat sedih dan hanya berdiri seolah-olah takut untuk mendekatiku yang bisa saja tiba-tiba pecah.

"Oliver kerja, buat Sofie sih katanya. Jadi Sofie harus ngerti. Gitu, 'kan?"

Tawaku lolos, tepatnya menertawai diri sendiri.

Ayah bergerak maju dari yang lainnya, menghampiriku, lalu menggantikan perlakuan Bunda tadi. Nggak ada yang Ayah bilang, bahasa tubuhnya sudah cukup untuk membuatku merasa disayangi sehingga air mataku menetes deras. Padahal aku sudah menguatkan diri dari tadi biar nggak nangis lagi. Berkali-kali aku berpikir kalau sakit hatiku ini memang nggak seharusnya kurasakan dan cukup diabaikan saja. Sungguh aku sudah berusaha keras agar nggak terlihat menyedihkan ataupun berlebihan dalam bersikap.

Tapi ... aku gagal.

Hatiku ternyata sangat terluka, lebih parah dari yang aku duga. Pelukan Ayah membuatku menangis tersedu-sedu. Sebanyak apa pun aku meyakinkan diri kalau nggak sepantasnya air mataku jatuh, ternyata aku nggak bisa. Rasanya seperti berada di tengah-tengah nyala api. Aku kepanasan dan merasa sakit. Bukan cuma hati, tapi kalau bisa seluruh tubuhku ikut menjerit. Di kepalaku berputar-putar kalimat Oliver yang sangat menyakitkan. Semua keyakinan bahwa aku yang paling penting untuknya seketika lenyap.

Full of BetonyWhere stories live. Discover now