28. Mature Talk

2.8K 252 26
                                    

Aku sudah nggak marah sama siapa pun saat ini, termasuk grup ibu-ibu penggosip dari keluarga Oliver. Anggap saja itu adalah satu langkah untukku menjadi lebih dewasa dalam menyikapi sesuatu. Sekarang yang menjadi fokusku adalah laki-laki tampan di hadapanku. Dia sedang sibuk memanggang daging, mengabaikan asap yang beberapa kali sempat membuatnya mengusap-usap mata. Maunya sih aku bantu, tapi Papa bilang kali ini biar para lelaki yang melayani istri dan anak-anak mereka. Wah, kalau kupikir-pikir mereka bertiga memang se-frekuensi. Kompak banget dalam meratukan wanitanya.

Aku sangat bersyukur kejadian beberapa waktu lalu membuat kami semua semakin dekat. Papa Wijaya dan Mama Reni juga minta maaf ke aku kalau mereka turut andil memaksaku menikah. Mereka sebenarnya merasa bersalah karena Oliver kukuh menginginkanku walau tahu aku sebenarnya saat itu sangat berat menerima Oliver. Yeah, semua sudah baik-baik saja. Aku sudah merasa nggak punya dendam atau kebencian apa pun atas masa lalu Oliver sampai dia yang memberi tekanan halus agar aku mau menikah dengannya.

He's 10 and ... he's mine. Kurang apa lagi tuh? Nggak ada! Tinggal akunya saja yang harus baik-baik jaga Oliver.
Oliver menatapku, tersenyum, lalu mengerling sebelum kembali mengurusi daging. Ahhh! Cool banget!

"Cieeee! Kak Sofie pandang-pandangan sama Kak Oliver!"

Siapa yang bicara? Ya pasti sudah jelaslah anggota termuda di keluarga kami. Gara-gara Azmi, Bunda dan Mama jadi ikut-ikutan godain aku. Ya malu, ya senang juga. Hahaha.

"Ntar kalau bukan Sofie yang pandang, Oliver oleng ke yang lain gimana?"

Mereka semua tertawa, termasuk Oliver.

"Sofie," Oliver memanggil dan membuat kami semua memandangnya.

"Ya?"

Oliver memasukkan jari ke saku celananya seolah-olah mencari sesuatu, lalu nggak lama kemudian ibu jari dari telunjuknya membentuk heart sign.

"Saranghae."

Heh! Ya ampun! Nggak nyangka banget Oliver bakal menunjukkan sisinya yang seperti ini di depan keluarga. Astaga! Wajahku langsung panas dan jantungku deg-degan.

"Wuahh! Kak Oliver bisa romantis gini, ya?"

"Aduh, aduh. Mama yang udah tua kok jadi iri, ya? Papa, Papa sesekali kayak Oliver gini dong."

"Ayah, kita kayaknya perlu pindah ke Mars. Gimana Bu Reni? Setuju nggak dengan ide saya?"

Please, ini heboh banget gara-gara Oliver. Tersangkanya lagi senyum-senyum pula.

"Nggak dibalas nih, Sofie?"

Oliver memberi tatapan yang bikin aku meleleh, mencair, melebur pokoknya!

"Ayo, Kak, balas! Balas!"

Membalas pernyataan cinta Oliver? Ya ampun. Aku belum pernah melakukannya bahkan di saat kami hanya berduaan. Sekarang di depan para keluarga jelaslah aku makin nggak bisa mengatakan kalimat itu. Malu!

"Ah, apa, sih? Sofie ambil minuman dulu di kulkas."

"Ada yang mau melarikan diri nih!"

Aku cuma senyum-senyum karena godaan Azmi. Di saat aku baru saja berdiri dari dudukku, kepalaku pusing sampai tubuhku limbung. Azmi yang paling dekat denganku bangun tergesa-gesa untuk membantuku berdiri dengan benar, sedangkan yang lainnya mulai mengkhawatirkanku.

"Kenapa, Sof? Pusing?" Bunda bertanya sambil merapikan rambutku yang melewati pelipis.

"Nggak tahu nih, Bunda, kok pusing banget."

Mataku terpejam dan masih berat banget buat dibuka.

"Kurang istirahat ya, Nak? Mau masuk ke dalam?"

"Nggak usah, Ma. Mungkin sebentar lagi hilang pusingnya."

Full of BetonyWhere stories live. Discover now