DUA BELAS

66 6 0
                                    

"Aku pulang, Ma." Ku buka pintu rumah dengan kunci cadangan yang ku bawa sambil ku letakkan sepatuku yang telah terlepas di tempatnya.

Rumahku sepi, seperti tak berpenghuni. Dimana orang tuaku ya? Kalau kakak lelakiku sih, sekarang sudah jarang pulang ke rumah meskipun jadwal kuliahnya kosong saat weekend seperti ini. Aku berkeliling rumah, mencari keberadaan penghuninya.

"Eh Kay, uda sampai rumah? Gimana kemarin? Seru kan?" Sapa seorang wanita paruh baya, dengan wajah teduh penuh cinta, tersenyum menyapaku sambil turun dari lantai dua.

"Mama.." Aku menoleh ke sumber suara itu dan berlari menyambutnya. Menghambur menuju pelukan hangat tubuhnya.

Ini pelukan yang selalu ku rindu. Pelukan dari wanita hebat dan luar biasa yang selalu mendukung juga merawatku dengan cintanya. Ah Mama, entah bagaimana aku harus menceritakan luka yang ku dapat ini padamu.

"Baru juga semalem jauh dari Mama, dateng ke rumah uda kayak setahun gak ketemu. Kenapa? Ada apa? Pasti ada sesuatu nih." Mama memberondongku dengan pertanyaan, mencoba menggodaku. Ya, kepadanya aku tak pernah bisa menyembunyikan apapun. Dan kepadanya pula aku selalu berkeluh kesah.

Hatiku semakin bimbang. Mulutku terkunci rapat. Aku bingung, sangat bingung bagaimana harus menghadapi wanita baik hati ini. Seketika air mataku tak mau berkompromi. Ia menetes dengan tak tau diri. Mengkhianati hatiku yang menyuruhnya menahan diri.

"Hei, Kay, ada apa sayang? Kenapa tiba-tiba menangis? Cerita ke Mama, mungkin Mama bisa bantu." Suara Mama membujukku untuk tenang.

"Mama.." Suaraku mencicit. Tak terdengar jelas. Serupa dengan gumaman. Namun air mataku semakin lancar mengalir.

"Oke, baiklah. Ayo ke kamarmu dulu, Kay. Kamu mandi dan ganti pakaian. Mama bikinkan coklat hangat dulu, baru kita ngobrol ya, anak cantik." Dengan lembut Mama mengusap punggungku, seakan memberiku kekuatan.

Dalam pelukan Mama aku dibimbing naik ke lantai dua, menuju kamarku. Aku melangkah dengan goyah, mungkin jika tidak dibimbing Mama, maka badanku akan merosot ke bawah. Aku sudah tidak kuat bertumpu pada kakiku.

Sesampainya di kamar, dilepaskan tas sekolahku dan diletakkannya di meja belajarku. Aku sendiri langsung menjatuhkan diri ke kasur. Menutup wajahku dengan bantal dan menangis meraung-raung. Aku berharap suara tangisku bisa diredam.

Aku belum pernah merasa sesakit ini.

Bahkan dulu, ketika Ibu kandungku pergi, aku hanya diam berdiri. Menatapnya berlalu pergi dari rumah ini. Bukan karena aku tidak sayang, tapi saat itu aku belum paham.

Ya, Ibu kandungku pergi, memilih melarikan diri dengan lelaki lain, meninggalkan Papaku seorang diri. Itu yang ku pahami selama ini. Entahlah, aku tidak tahu bagaimana cerita sebenarnya antara keduanya. Yang aku ingat sore itu Ibuku pergi membawa barangnya dan masuk ke dalam mobil hitam. Dia tidak menoleh sedikitpun padaku, apalagi mencium atau memelukku. Tak pernah ada ucapan perpisahan darinya. Aku lupa bagaimana perasaanku saat itu, yang ku ingat aku dalam gendongan Papaku. Sepertinya aku tidak menangis, namun yang sangat jelas ku lihat hari itu, Papaku menitikkan air matanya. Ah kami dua orang yang dicampakkan saat itu.

Aku dulu tidak mengerti bagaimana rasanya ditinggalkan, aku juga tidak sempat sakit hati. Papaku menyayangiku, perhatiannya tidak pernah putus padaku. Setelah beberapa tahun berlalu, Papa membawa sosok wanita untuk dikenalkan padaku sebagai Ibu baru.

Dialah wanita paruh baya yang saat ini sedang membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang. Benar, wanita ini bukanlah sosok yang melahirkanku. Dia adalah ibu sambungku. Ibu tiri, istilah yang disematkan orang padanya.

Namun dari wanita inilah, aku mengerti dan memahami arti cinta. Ya, wanita inilah yang merawatku sejak aku ditinggalkan, memberiku limpahan kasih sayang. Aku bahkan tidak lagi mengingat bagaimana rupa Ibu kandungku. Aku juga tidak lagi mengingat bagaimana rasa sayang Ibu kandungku. Karena bagiku, Mama adalah Ibuku, meski dalam darahku tidak terdapat darahnya. Bahkan dengan kakakku yang terpaut dua tahun di atasku, aku merasa sangat dekat dan sayang padanya, meski tidak ada darah yang sama di tubuh kami.

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now