LIMA BELAS

66 7 0
                                    

Sudah hampir dua minggu sejak kejadian mengenaskan yang ku alami, Bang Arka tidak terdengar kabarnya. Ah masa bodohlah, memangnya apa yang ku harapkan? Namun tak bisa ku pungkiri, hatiku kadang masih memikirkannya. Terkadang, bayangan Bang Arka tertunduk dan menangis hari itu terus berkelebat menghantuiku. Tidak hanya mengirimkan sinyal peringatan untuk menjauh tapi juga sinyal untuk mencari tahu kondisinya saat ini. Entahlah, aku tak tahu harus berbuat apa. Jangankan untuk meringankan beban Bang Arka, sekedar untuk mengobati lukaku sendiri saja, aku masih tak mampu.

Kini setiap hari, hanya aku lalui dengan berdiam diri. Aktifitas yang ku kerjakan hanya sebatas, berangkat ke sekolah untuk mengurus surat-surat kelulusan, menandatangani berkas kelulusan dan menyiapkan pertunjukan untuk acara perpisahan sekolah setelah itu aku pulang, dan kembali mengurung diri. Mama dan Papa tak henti-hentinya membujukku untuk pergi mengunjungi bioskop, sekedar menonton film yang menjadi hobiku selama ini. Ah mereka tidak tahu saja, itu sebenarnya adalah hobi Danen, dan aku hanya terbiasa mengikutinya saja. Ya tiga tahun bersama, kebiasaan kami jadi bias.

Pagi ini aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Menenteng tas sekolah yang tak ada isinya, aku bersalaman dengan Mama dan Papa.

“Kay berangkat dulu ya Ma, Pa.” Pamitku lirih sambil menunduk. Maafkan Kay Ma, Pa, belum mampu untuk menyingkirkan luka hati ini, aku tahu kalian mengkhawatirkan aku.

“Kay..” Suara berat Papa menghentikan langkahku, memaksaku membalik badan menghadap mereka kembali.

“Iya Pa. Ada apa?” Aku bertanya. Otakku sudah cukup malas untuk menerka pertanyaan yang akan diajukan Papa.

“Papa akan mengajukan sekali lagi pertanyaan yang sama, tolong jujurlah. Jika kamu sudah merasa berkata jujur, maka tegakkan kepalamu.” Ujar Papa dengan tatapan yang mematikan. Mungkin Papa mulai jengkel dengan sikapku. Aku mengerti.

Aku tak menyahut ucapan Papa, hanya memandang lelaki idolaku itu dengan tatapan datar. Aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Ku lihat Mama mendatangi Papa, mengelus lembut punggung Papa. Ah ternyata aku benar, amarah Papa mulai muncul, dia mulai jengkel padaku. Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Mama yang berusaha meredakan amarah Papa, sangat jelas tertangkap mataku. Mama yang selalu membelaku. Wanita itu, entah sudah berapa banyak air mata yang sudah ia keluarkan sejak aku menceritakan kejadian memalukan itu.

“Ini bukan pertanyaan baru Kay. Tapi Papa gak akan bosan bertanya. Selama bersama Danen, apa kamu sudah kehilangan sesuatu? Apa kalian berpacaran melebihi batas?” Ucap Papa dengan nada yang sudah tinggi. Terlihat jelas Papa tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya padaku pagi ini.

Aku tersenyum, menggeleng lemah sebagai jawaban. Aku sudah malas dengan pertanyaan ini. Benar kata Papa, ini bukan pertanyaan baru, karena aku sudah mendengarnya ribuan kali sejak hari itu. Aku menunduk, bersiap membalik badan untuk segera berangkat ke sekolah.

“Jangan pergi dulu, Papa belum selesai. Jawab yang tegas Kay!! Apa kamu masih perawan?” Papa berteriak.

Deg.. Deg.. Deg..

Seketika aku merasakan hatiku ngilu. Apa Papa sekarang meragukan aku? Apa Papa tidak lagi mempercayaiku? Setetes air lolos dari mataku. Aku menatap mata Papa dalam, mencoba menyalurkan rasa kecewaku.

“Apa Papa udah gak percaya Kay lagi? Apa perlu kita ke dokter buat mastiin semuanya, Pa?” Aku merasa air mataku sudah tak bisa ku bendung. Mereka meloloskan diri dengan cepat dan banyak.

“Kay, maksud Papa bukan gitu. Papa dan Mama hanya khawatir denganmu saja. Kamu berubah sayang, sangat berubah. Itu yang kami khawatirkan.” Suara lembut Mama mengalun merdu, berusaha menetralkan suasana.

“Aku pasti berubah Ma, pasti. Rasa sakitnya masih ku rasakan. Tidak bolehkah aku merasa sakit Ma? Aku juga cuma manusia biasa Ma.” Ucapku penuh sindiran.

“Mama ngerti Kay. Maksud Mama—“  Belum selesai Mama menyampaikan isi hatinya, ucapan Mama sudah dipotong Papa. Refleks aku menengok ke arah Papa.

“Kalau kamu tidak kehilangan apapun yang berharga dari tubuhmu, maka kamu bisa berjalan dengan menegakkan kepala Kay!! Kamu tidak salah, dan kamu tidak melakukan sesuatu yang ceroboh, jadi angkat kepalamu nak. Sakit hatimu, akan berkurang jika kamu bisa menegakkan wajahmu.” Papa berkata dengan lantang. Sambil berjalan perlahan menghampiriku. Memelukku erat.

Aku tersentak. Baru menyadari maksud ucapan Papa selama ini. Benar kata Papa, kenapa ku terpuruk disaat aku tidak melakukan kesalahan sedikit pun? Harusnya Danen yang merasa terpuruk, bukan aku! Ah bodohnya aku. Apa patah hati bisa menyebabkan menurunnya kemampuan otak untuk menganalisis? Tapi, dadaku masih berdenyut nyeri kala mengingat satu nama, Danendra Daniswara.

“Kay, ingatlah, bukan kamu yang rugi dari kejadian ini, tapi Danen lah yang rugi karena menyia-nyiakan gadis baik ini. Tegarlah, kuatlah dan yakinlah, dibalik sakitnya perpisahanmu ini dan dibalik air matamu yang keluar saat ini, akan ada pelangi yang muncul tak lama lagi. Asal kamu bisa membuka hati.” Kata-kata Papa meluncur dari atas kepalaku. Hangat merayap di hatiku. Aku semakin membenamkan kepalaku di dada jagoanku.

“Makasi Pa. Makasi. Tapi izinkan Kay untuk menangisi Danen dulu. Kay janji, ga akan lama. Gimana pun juga, tiga tahun Kay lalui bersama Danen Pa, gak semudah itu menghapusnya. Tapi Kay akan berusaha.” Ucapku lirih. Meski tak yakin dengan janjiku sendiri. Yang penting Mama dan Papa tidak lagi khawatir. Apa aku sungguh mampu menghapus Danen dari hatiku? Dia cinta pertamaku. Dia kekasih pertamaku.

“Tak perlu dihapus dan dilupakan Kay, tapi jadikan itu pelajaran. Jika kamu pernah mengalami sakit yang seperti ini, kelak di kemudian hari, hindari penyebab rasa sakit ini. Pilihlah lelaki yang sejalan denganmu.” Aku mendengar suara Mama dari balik punggungku, mengusap lembut rambutku.

Secepat kilat aku membalik badanku, menghambur ke pelukan Mama. Kata-katanya selalu menenangkanku. Mama, terima kasih. Papa, terima kasih. Aku sayang kalian.

“Berangkatlah, nanti terlambat.” Ucap Papa, memutus pelukanku dan Mama.

“Papa lupa, aku sudah lulus, terlambat pun gak masalah, cuma tinggal tanda tangan dan gladi bersih aja buat acara perpisahan sekolah.” Aku berkata sambil menatap mata teduh Papa. Tersenyum karena menyadari Papa sudah melupakan statusku.

“Begini lebih baik. Senyumlah terus, angkat kepalamu. Angkuhlah pada lelaki yang tidak bisa menjaga wanitanya. Kamu itu berharga Kay.” Papa berkata sambil mengusap kepalaku.

“Baiklah, aku berangkat dulu ya Pa, Ma.” Aku pamit pada kedua orang tuaku, sambil mencium pipi mereka.

Ku langkahkan kakiku tanpa ragu. Ku pandang langit biru di hadapanku. Ku dongakkan kepalaku. Ya, aku berharga. Sangat berharga. Aku tersenyum pada dunia.

BERITAHU MEREKA!!! Donde viven las historias. Descúbrelo ahora