ENAM PULUH DELAPAN

30 4 0
                                    

"Tapi saya tidak setuju..." Ucapan Mama sontak membuat kami semua yang berada di ruangan itu menoleh ke arahnya.

"Bisakah saya ikut bersuara?" Mama bertanya dengan tenang.

Bang Arka dan Papa kompak untuk saat ini. Dua lelaki tampan itu mengangguk dan tersenyum. Oh indahnya.

Aku? Aku hanya terdiam, entah bagaimana aku memposisikan diri. Nyatanya aku terkejut saat menyatukan puzzle dari ucapan samar Bang Arka yang tadi sempat ku dengar sekilas dan samar.

4 tahun bersama? Anak? Kepemilikan? Apalah itu tadi. Aku masih mencoba meresapi.

"Mama yakin, nak Arka adalah lelaki yang bertanggung jawab."

Tunggu! Mama memanggil dirinya sendiri 'Mama' didepan Bang Arka? Whoa, ini kemajuan! Fokusku teralihkan karena ucapan Mama barusan. Tiba-tiba dewi batinku bersorak-sorai.

"Tapi yang Mama takutkan adalah dalam 2 bulan waktu yang nak Arka minta itu, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Maksudnya, jika pihak keluarga nak Arka dan istri tahu bagaimana? Mereka akan melabeli Kay dengan sebutan yang sangat tidak enak didengar. Dalam kurun waktu itu, semua hal baik dan hal buruk bisa terjadi nak Arka." Mama mengucapkan sesuatu yang sangat benar adanya.

Bang Arka tertunduk, ia seakan merenungi semua ucapan Mama dan mencoba mencari jalan keluar untuk hubungan kami.

"Saya juga sependapat dengan istri saya. Bisakah kalian menjaga jarak saat ini? Saya pribadi, hanya ingin hidup yang damai, tidak saling menyakiti. Dan tentu saja, sebagai seorang Ayah, saya ingin anak saya tetap terjaga kehormatan dan nama baiknya." Papa menegaskan apa yang sudah diucapkan Mama. Aku terdiam, meratapi nasibku.

"Sejujurnya nak Arka, Mama tidak melarang kalian berhubungan. Asalkan, status kalian jelas. Tidak mengambang. Kay, jelas dia gadis dan juga single. Tapi nak Arka? Kamu masih terikat pernikahan nak. Siapapun orang tua di dunia ini, tidak ingin anaknya terlibat ke dalam pernikahan orang lain. Begitu juga dengan kami." Dengan lembut Mama menjelaskan pada Bang Arka.

"Saya rasa, dalam waktu yang nak Arka minta itu, selesaikan masalah nak Arka dulu. Jangan libatkan Kay. Karena posisi Kay akan sulit. Dia akan dianggap sebagai sumber masalah. Anggaplah waktu yang nak Arka minta itu, sebagai waktu untuk melihat dan menilai seberapa besar cinta yang kalian punya. Apa benar ini cinta? Atau hanya pelampiasan? Sejujurnya, waktu kalian mengatakan cinta bertepatan dengan kandasnya rasa lain yang telah lama bersarang di hati masing-masing, benar kan yang saya bilang?" Papa mencoba memberi jalan keluar.

Aku bergeming. Meresapi setiap kata yang terucap dari mulut orang tuaku. Apa benar ini hanya pelampiasan? Memang jarak kandasnya hubunganku dengan kejadian ini tidaklah lama. Aku juga tidak tahu kapan aku mulai jatuh cinta pada Bang Arka. Yang jelas, aku merasa nyaman dan kecanduan berada di dekatnya.

"Kay, ada yang mau kamu ucapkan?" Papa kembali membawaku pada kenyataan.

Aku mendongak dan menatap Bang Arka. Sesungguhnya aku tak siap melepaskan dia.

"Kay... Kay..." Aku gugup dan tak mampu berucap. Bang Arka tersenyum menatapku.

"Saya hanya takut." Bang Arka membantuku bersuara. Ia meneruskan kata yang juga ingin ku ucapkan. Sesungguhnya aku takut! Entah takut karena apa.

Mama dan Papa mematap dalam wajah Bang Arka yang sekarang menunduk.

"Saya takut, cinta Mikha akan berubah jika saya jauh. Saya takut kelalaian saya akan berujung kehilangan. Saya takut ketidak becusan saya menjaga hubungan akan memporak-porandakan kembali hati saya. Sejujurnya, saya trauma dengan sebuah kehilangan. Karena itu, saya ingin bersungguh-sungguh menjaga Mikha dan cintanya." Bang Arka berbicara sambil menatap lekat padaku. Mata kami beradu, mengisyaratkan rasa yang tak terungkap.

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now