DUA PULUH ENAM

47 8 0
                                    

Aku melajukan mobilku ke arah yang aku kenal baik beberapa hari belakangan. Aku bahkan belum sempat mengganti kebayaku. Masa bodohlah apa kata orang, aku hanya ingin satu, menenangkan pikiranku.

Aku menyetir dengan air mata yang terus mengalir. Entah kenapa rasa sakitku justru makin bertambah. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak lagi memedulikan Danen? Tapi kenapa rasa sakit ini malah semakin besar? Bahkan ada rasa sakit baru yang juga turut ku rasakan saat mendengar ucapan Papa sejak pagi tadi. Entahlah, kemampuan otakku sedang tak sejalan dengan hatiku.

Aku membelokkan mobilku ke pintu masuk perumahan yang di depannya tertulis GREEN HIILS. Mataku menangkap rumah mewah dengan pagar tinggi, segera aku berbelok ke dalamnya.

“Halo Mas.” Aku menyapa penjaga rumah itu yang nampak sangat ramah dan akrab saat akan memasukkan mobilku. Aku berusaha tersenyum meski air mataku belum berhenti mengalir.

“Eh Non Kay. Lho ada apa Non? Ayo cepat masuk dulu.” Ucap Pak Hadi satpam itu panik, saat melihatku sambil bergegas membuka gerbang yang tinggi menjulang. Beberapa kali aku ke rumah ini, Pak Hadi sudah mengenalku dengan baik.

Aku memarkirkan mobilku di halaman, ternyata Pak Hadi sudah menyusulku dan langsung berdiri di samping untuk membuka pintu mobil untukku.

“Aduh Non Kay cantik banget. Habis lamaran ya Non?” canda Pak Hadi. Aku menatap nanar tubuh yang ku yakini masih seumuran Kakakku atau paling tidak lebih tua dua sampai tiga tahun.

Karenanya aku bersikeras memanggilnya dengan sebutan Mas, meski Pak hadi sempat menolaknya. Namun berakhir dengan dia pasrah menerima karena aku tak juga merubah panggilanku.

“Salah omong deh Bapak. Maafin Bapak ya Non. Habis non cakep banget deh hari ini. Bajunya kayak mau nikah aja.” Pak Hadi masih berusaha menghentikan tangisku.

“Mas.. Hiks..Hiks.. Bang Arka ada? Hiks..” aku terus bersuara meski diiringi isakan tangis yang entah kenapa tidak mau berhenti.

“Aduh, Pak Arka masih keluar Non. Belum pulang. Kalau jam segini biasanya masih di kantor. Non tunggu di dalam aja ya. Nanti bapak teleponkan Pak Arka.” Ucap Pak Hadi yang jelas Nampak kebingungan dengan sikapku saat ini.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Lalu aku mengekori Pak Hadi yang sudah membukakan jalan untukku.

“Non tunggu di dalam deh. Bapak jaga di pos lagi ya. Panggil Bapak aja kalau butuh sesuatu. Bi Sumi udah pulang soalnya.” Pak Hadi terus memperhatikan aku dengan tatapan ibanya.

“Makasi ya Mas.” Aku bersuara sambil merebahkan tubuhku ke sofa.

“Abang, cepet pulang. Kay sakit.” Aku menangis meraung-raung saat Pak Hadi sudah keluar rumah. Ku sentuh dadaku yang berdenyut nyeri.

Hari ini aku benar-benar tak ambil pusing dengan omongan orang yang mungkin akan mencelaku saat aku mendatangi rumah suami orang dengan keadaan menangis tersedu-sedu dan memakai baju kebaya yang bahkan belum sempat aku ganti. Masa bodoh dengan pikiran orang! Mereka hanya bisa melihat dari luar saja.

Aku merasa tubuhku sedikit lelah saat aku belum juga berhenti menangis sedari tadi. Rasa sakit ini terus membelenggu jiwaku. Dan aku tak tahu cara melepaskan jeratannya. Rasa cinta dan kelemahan hatiku, benar-benar merupakan perpaduan yang sangat baik untuk meluluh lantakkan hidupku. Entah dari sudut mana aku merasa sangat rapuh hari ini. Apa hanya karena perkataan Papa? Entahlah.

Aku menerawang langit-langit rumah Bang Arka. Mencoba menerka kembali alasan apa yang melatar belakangi hancurnya hatiku untuk yang kesekian kalinya pada hari ini.

Apa benar hanya karena kata-kata Papa yang sepenuhnya benar? Atau karena kerapuhan hatiku dan rasa cinta yang masih tersisa untuk Danen, meski aku terus menyangkalnya, sehingga aku merasa terluka saat Papa melontarkan perkataan yang jelas-jelas membelaku?

Atau karena hari ini Danen memberiku bunga Daisy yang menyimpan kenanganku bersamanya?

Atau karena jawaban pesan dari Bang Arka tadi pagi? Dan bahkan tanpa ragu aku segera melaju menuju rumahnya. Ah tapi mana mungkin karena ini. Sepertinya aku hanya merasa sedikit bersalah saja pada Bang Arka. Aku terus menyangkal alasan tak logis yang tiba-tiba menyergap otakku.

Aku merasa lelah dengan segala pikiranku. Aku memutuskan untuk beristirahat sambil menunggu Bang Arka pulang. Aku bangkit dan menuju kamar yang pernah aku tempati dulu. Ku buka kamar itu dan tersenyum. Kamar ini menjadi saksi kebodohanku dan rasa sakitku.

Aku melangkah dengan pasti masuk ke kamar itu dan segera merebahkan tubuhku di atas kasur empuk yang pernah aku tiduri. Ah nyamannya. Aku akan tidur dulu sebentar.

Braaaaakkkkk.. Braaaakkkk…

Sial, siapa sih yang berisik ini? Perasaan baru sebentar aku tertidur tapi sekarang tiba-tiba saja tidurku terganggu. Woi maunya apa sih? Mengganggu sekali. Aku juga ingin tidur dengan nyenyak. Aku juga ingin istirahat dan juga ingin menenangkan otakku! Makiku pada siapapun yang membuatku terbangun.

Aku masih enggan untuk membuka mataku, biarkan saja mereka yang sedang berbuat onar, jika mereka sudah letih maka akan berhenti sendiri. Aku meletakkan bantal di atas kepalaku untuk meredam suara bising itu dan mencoba untuk kembali terlelap.

“Siapa kamu, hah?” Aku mendengar suara wanita yang sedang membentak. Entah membentak pada siapa.

Oh mungkin Bang Arka sudah pulang dan sedang menonton drama. Hahaha lucu sekali seleramu Bang! Baiklah aku pinjam kamarmu sebentar lagi Bang, aku masih letih. Sebentar lagi kalau aku sudah bangun, kau akan habis aku cela Bang. Seleramu sangat…konyol! Aku tersenyum saat membayangkan wajah malu Bang Arka.

“Bangun!! Siapa kamu dan kenapa kamu bisa di sini?” Eh, kenapa suara teriakan wanita ini terasa dekat ya? TV Bang Arka kan ada di luar. Aku berusaha tak terpengaruh dengan suara teriakan itu, tubuhku benar-benar letih dan minta diistirahatkan.

“Dasar j*lang!! Kamu bahkan memakai kebaya! Apa yang telah kalian lakukan?” Pekik wanita tadi, suaranya makin dekat ku rasa.

“Bu, tenang bu, mungkin non Kay lagi tidur. Dari tadi Bapak perhatikan nangis terus sih. Mungkin capek.” Kenapa pemerannya ada yang suaranya mirip Pak hadi ya. Astaga halusinasiku liar sekali!

“Kamu juga, kenapa membiarkan wanita tak jelas ini masuk!” Suara teriakan itu terdengar lagi. Aku masih memejamkan mata menikmati tidurku sambil berusaha tak terpengaruh suara-suara yang sangat mengganggu itu.

“Lha masa saya gak ngizinkan adik Pak Arka masuk, wong Pak Arya sendiri gak keberatan kok dan mengizinkan. Apalah saya yang cuma satpam ini, masa iya mau ngelarang Bu.”

“Suami saya anak tunggal! Kenali majikanmu. Kamu saya pecat! Heh j*lang, bangun!”

“Lha Bu, ibu ini siapa? Jangan asal pecat aja Bu. Saya kerja dengan Pak Arka Bu.”

“Saya ini istri Arka!”

“Yang bener Bu?”

“Apa perlu saya bawa mertua dan buku nikah saya?”

Aku terus mendengarkan suara-suara tadi dan menajamkan pendengaranku saat menangkap kalimat yang sangat mengagetkan. Istri? Istri siapa? Apa dia tadi bilang istri Bang Arka? Ah yang benar saja!

ASTAGA!! Aku terlonjak. Kaget dengan pikiranku sendiri. Seketika aku terbangun dan langsung mengarahkan pandanganku ke ujung pintu. Pak Hadi sedang menahan seorang wanita hamil yang ingin menerobos masuk ke kamar. Sial. Ini bukan drama TV. Ini kenyataan.

Aku membelalakkan mata. Akhirnya ketakutanku menjadi nyata.

BERITAHU MEREKA!!! Donde viven las historias. Descúbrelo ahora