TUJUH PULUH LIMA

33 3 0
                                    

Senyumku merekah saat membaca nama yang tertera di layar ponselku. Meski ada rasa kecewa dan sakit yang menyelimuti hatiku, namun sejujurnya aku sangat merindukan lelaki itu.

"Win, aku angkat telpon dulu ya. Hmm kamu tunggu aku di tempat tadi aja sama Kak Al dan Kak Ken." Aku menyuruh Winda kembali dulu. Sungguh aku belum siap, jika dia tahu siapa yang meneleponku.

Setelah melihat Winda merespon ucapanku dan berjalan menjauhi kamar mandi, aku pun berjalan agak menjauh dan mencari tempat di belakang toilet yang ku rasa sedikit sepi. Segera aku mengangkat panggilan itu. Belum sempat mulutku mengucapkan kata, dari ponselku terdengar nada sindiran.

"Gimana rasanya berada di pelukan lelaki lain? Hangat? Nyaman?" Hah itu bukan kata sapaan yang baik untuk memulai percakapan. Aku yakin, mendengar dari nadanya, lawan bicaraku sedang dalam kondisi diliputi amarah yang memuncak. Wah, si posesifku, dia sedang cemburu rupanya. Eh tapi bagaimana dia mengetahuinya?

"Hai, apa kabar? Ah iya, tentu saja kabarku baik. Aku juga sudah selesai melepas gipsku lho hari ini. Hanya saja aku masih harus menggunakan tongkatku sampai dua minggu ke depan, agar tulang baruku lebih siap. Dan ah, aku menghargai perhatianmu dan juga terima kasih sudah bertanya." Sarkasku pada lawan bicaraku. Aku sungguh berusaha melembutkan suaraku dan menekan nada jengkelku.

Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok yang sangat aku kenal. Berharap dia ada di sekitarku. Hah, apa kamu berharap dia membuntutimu Kay? Hoi, ingat komitmen 2 bulan ini? Dewi batinku langsung membentak.

"Aku sangat menyukai mulut pintarmu itu Mikha. Sayangnya, aku tak ingin meladeni semua itu sekarang. Bahkan jika bisa, aku ingin menelan saja mulut pintarmu itu. Hah sialan, aku benci komitmen yang sudah ku buat untuk 2 bulan ini." Aku mendesah mendengar suara bariton yang penuh amarah itu. Suara yang ku rindukan tapi juga saat ini menjadi suara yang paling ingin ku hindari.

Sial, dengan mendengar suaranya saja, aku langsung terbayang semua yang diceritakan Kendrick. Otakku langsung mengirimkan berbagai kilasan gambar. Tentang berapa banyak wanita tanpa busana yang pernah berada dibawah kukungan tubuhnya? Siapa saja wanita itu? Dan apa yang dilakukannya di bar? Seberapa sering dia kesana? Bersama siapa? Hah, aku ingin mengumpat padanya, boleh kan ya?

Oh sungguh semua itu membuatku gila! Aku terus saja melihat gambar-gambar tentangnya bagai sebuah film yang diputar tanpa henti. Menyebalkan!

"Bukankah itu yang kamu janjikan padaku juga Bang? Kenapa sekarang kamu malah marah?" Aku masih berusaha bersikap biasa.

"Itu memang yang ku janjikan, tunggu aku dua bulan ini. Tapi, yang kamu janjikan untukku berbeda, Mikha. Kamu berjanji menjaga hati, tapi malah melempar diri ke pelukan lelaki, parahnya lelaki itu bukan aku!" Bentak Bang Arka padaku.

"Aku tidak datang pada pelukan lelaki lain. Oh ayolah Bang, jangan mengada-ada dan jangan menuduhku macam-macam." Aku mulai kesal mendengar tuduhannya.

"Menuduh? Aku melihat sendiri Mikha. Sejak tadi, saat kita masih di jurusan. Dengan mudahnya kamu menaiki mobil lelaki lain. Dan bahkan, beberapa menit lalu kamu masih melakukannya." Bang Arka sepertinya sudah kehilangan kendalinya. Amarah dalam suaranya sangat jelas terdengar. Oh sungguh mengerikan.

Entah apa yang aku lakukan jika ini terjadi di depanku langsung. Mungkin aku akan meringkuk ketakutan. Sungguh aku tak akan bisa terbiasa dengan dirinya yang seperti ini. Atau mungkin aku belum terbiasa? Ah tak tahulah, hatiku terus saja membelanya saat logikaku memberikan ide baru.

"Abang di mana?" Aku mengedarkan pandanganku lagi, mencoba mencari sosoknya. Aku yakin dia ada didekatku jika mendengar dari ucapannya. Dia mengawasiku, selalu, entah dari mana. Dewi batinku langsung tersenyum saat menyadari itu.

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang