DELAPAN PULUH SATU

28 4 0
                                    

Aku melihat diriku sendiri di cermin yang berada di kamar kontrakan Winda dan tersenyum puas. Gaun lengan pendek berwarna tosca dengan panjang selutut dengan rambut yang ku kuncir ekor kuda, dan make up tipis, aku siap untuk menggali lebih banyak informasi malam ini.

Malam ini aku menginap di rumah kontrakan Winda. Kami akan pergi ke bar bersama Kendrick dan juga Aldrich. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, sebentar lagi kakak beradik itu menjemput kami.

Aku bersikeras ingin ke bar memang bukan tanpa tujuan. Aku benar-benar ingin tahu kehidupan malam di sana seperti apa, untuk kemudian ku korelasikan dengan kehidupan yang dijalani Bang Arka. Aku ingin mengetahui sejauh apa Bang Arka terjerumus dalam dunia itu.

"Win, lama banget sih. Emang apa yang kurang sih?" Aku berteriak pada Winda yang sedari tadi hanya mondar-mandir dan bergonta-ganti pakaian.

"Aku jadi kurang percaya diri deh Kay. Lihat nih penampilanku? Kayaknya kurang hot deh." Keluh Winda yang sudah berdiri lagi di belakangku setelah berganti pakaian entah untuk ke berapa kali.

"Kamu mau ditendang Kak Ken terus gak jadi diajakin ke bar? Bisa-bisanya mikir tampilan hot. Jangan ngaco deh Win. Udah deh kamu cantik pakai apapun. Yuk ah keburu mereka dateng lho." Ujarku.

Aku menatap Winda sambil menggelengkan kepala. Geli melihat kegelisahan Winda yang sedang bingung dengan penampilannya. Meski baru saja mengenalnya, tapi aku tak pernah melihatnya gelisah seperti ini.

"Karena aku gak mau bikin Kak Ken malu, makanya aku dandan yang bener Kay." Ucap Winda dengan tegas.

Aku terperanjat dan langsung memutar tubuhku menghadap Winda.

"Jangan bilang kamu suka sama Kak Ken, Win?" Aku langsung menodongkan pertanyaan inti.

"Dibilang suka sih belum. Cuma asyik aja dibuat ngobrol." Jawab Winda santai.

Aku membelalakkan mata. Wah ternyata benar dugaanku, mereka memang cocok, tak hanya cocok karena bermulut los tapi juga sepertinya kepribadian mereka saling mengisi. Entahlah..

Sambil menatap Winda yang akhirnya memutuskan memakai gaun pendek selutut berwarna gelap, aku kembali mengingat syarat yang diberikan Kendrick. Aku tersenyum mendapati kelakuan Kendrick dan juga Aldrich yang menurutku sangat mengekang kami. Memangnya kami bayi? Memangnya apa sih isi di dalam bar itu? Ada kehidupan apa di sana?

"Oke, aku siap Kay. Kita tunggu mereka di depan yuk?" Ajak Winda dengan semangat.

Aku mengangguk dan mengikuti langkah Winda. Malam ini pun aku meninggalkan tongkatku, aku malu jika harus berjalan dengan menggunakan tongkat saat di bar nanti.

Kami sudah duduk di teras rumah kontrakan Winda selama beberapa menit saat mobil Kendrick tiba.

Hal pertama yang ku tangkap adalah pandangan tajam dari Aldrich saat turun dari mobil dan berjalan menghampiriku.

"Mana tongkatmu?" Tanya Aldrich dengan suara dinginnya.

"Yang benar aja Kak. Masa ke bar pakai tongkat, Kay malu tau Kak!" Aku berkata dengan sewot.

"Ambil tongkat dan pakai. Atau kita gak pergi sama sekali." Ujar Aldrich dengan tegas.

"Tapi Kak, Kay beneran malu," Aku masih membantah, "Kak Ken, Kay gak usah bawa tongkat ya?" Aku meminta persetujuan dari Kendrick.

Kendrick hanya mengangkat bahu, tak memberiku jawaban pasti.

"Semakin lama kamu memutuskan, semakin lama kita berangkat. Kita gak akan pergi tanpa tongkatmu Kay." Aldrich masih teguh pada pendapatnya.

"Kakak juga gak pakai tongkat." Aku masih membantah.

"Kakiku lebih kuat dari kamu." Alasan Aldrich sungguh membuatku membulatkan mata. Dasar aneh!

BERITAHU MEREKA!!! Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin