TIGA PULUH TIGA

47 6 0
                                    

"Udah gak usah malu! Kalau udah selesai nangis, angkat kepalamu! Aku juga udah lihat semua." Suara Aldrich yang sedikit tinggi menyadarkanku jika kami telah lama dalam posisi ini. Posisi dimana kepalaku masih menyandar di bahunya.

Astaga! Apa yang sudah kamu lakukan, Kay? Tadi pagi, kamu sudah membuat seluruh jurusan gempar dengan kelakuanmu yang bar-bar. Bahkan kini kamu juga menghancurkan kesan pertamamu di hadapan senior tampan di jurusan. Si tampan nan dingin, Aldrich!

Hah, apa yang harus aku lakukan? Aku terus merutuki diriku sendiri. Menyesal kenapa tidak bisa mengontrol emosiku. Semua gara-gara Danen yang tiba-tiba saja maju bak pahlawan kesiangan untukku. Dasar pecundang!

Aku masih terus menunduk di bahu Aldrich. Rasa malu menyelimuti setiap rongga tubuhku. Aku tak sanggup jika Aldrich harus melihatku seperti ini. Aarrgghh!! Apa yang akan di pikirkan Aldrich? Dia mungkin akan menertawakanku dan mempermalukanku.

"Cepat bangun! Kamu masih harus menyelesaikan hukumanmu, Mikhayla!" Aldrich berseru.

Ucapan Aldrich langsung membangunkan ingatanku ya lain. Hukuman! Astaga kenapa aku melupakan yang satu itu?

Tentu saja Aldrich akan menagihnya. Memangnya siapa aku sampai bisa membuat seorang Aldrich menunda bahkan menghentikan hukumannya. Siapapun kamu, jangan harap bisa lepas dari pengawasan Aldrich jika sudah melakukan kesalahan.

Entahlah, lelaki ini senang sekali menghukum. Mungkin dia sedikit mempunyai gangguan kejiwaan? Dimana dirinya akan merasa senang melihat orang lain kesusahan. Mungkin saja, siapa yang tahu! Aku terus saja berasumsi seperti ini, biar aku tetap waspada.

Aku segera menatap wajahnya, memasang tatapan mata andalanku, tatapan sendu dan polos, berharap Aldrich akan melepaskan aku kali ini.

"Kak, apa harus menjalani hukuman sekarang? Bisa gak ditunda?" Ucapku memelas.

"Hahahah.. Enak aja kamu minta ditunda. Tadi aja sok banget manggil pakai anda-saya, sekarang giliran mau di hukum langsung deh cari aman. Jangan harap kamu lolos dariku!" Aldrich menyindirku dengan sangat jelas.

"Tapi hukumannya apa, Kak?" Aku masih mencoba peruntunganku.

Sialnya, otakku terus saja mengirimkan informasi berbagai hukuman yang mengerikan. Dan parahnya lagi, hukuman memalukan yang selalu terpampang nyata dalam bayanganku.

"Cepat bangun, ikuti aku." Ujar Aldrich sambil menggoyangkan bahunya. Ah dia berharap aku cepat menyingkir dari sisinya. Baiklah, memangnya aku peduli dengan bahumu!

Aku segera bangun dan mengusap sedikit air mata yang masih tersisa. Ku lirik Aldrich juga bangkit dan menatap ke arahku.

"Mau ke kamar mandi dulu?" Ujar Aldrich menawariku.

Seketika tubuhku menegang. Terbayang sudah hukuman apa yang akan aku terima. Kemungkinan besar aku akan dihadapkan pada teman-temanku dan disuruh meminta maaf. Sedangkan saat ini wajahku masih tampak sembab. Oh ayolah, apa dia ingin mempermalukan aku? Dimana harus ku simpan mukaku? Tak mungkin aku menghadapi orang dengan mata bengkak dan hidung merahku!

Aku menatap nyalang pada seniorku itu. Ah masa bod*h dengan segala kesopanan.

"Kenapa memandangku seperti itu? Apa yang kamu pikirkan? Segera hapus pikiran kotormu padaku! Termasuk segala pikiran burukmu padaku." Suara Aldrich yang diiringi kekehan pelannya membuat dahiku semakin dalam berkerut.

Bagaimana bisa dia seperti..seperti..seperti..seseorang! Aku tak kuasa menyebut namanya. Dan aku hanya bisa mendesah, saat otakku mengirimkan gambaran siapa orang yang sering melakukan hal itu padaku.

"Bang, kamu titisan cenayang ya?" Astaga, Kay! Apa yang kamu bilang barusan? Bukankah barusan kamu bilang tidak mau menyebut namanya? Barusan bahkan kamu memanggil Aldrich 'Bang'! Mulutmu Mikhayla! Kenapa selalu tidak sinkron dengan otakmu!

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now