SERATUS EMPAT BELAS

35 7 1
                                    

"Ada Nyonya Adinda beserta seluruh keluarganya di depan." Imbuh pelayan itu sangat pelan.

Tubuh Bang Arka menegang di sampingku. Tangannya seketika menggandengku erat. Wajah Ayah tetap biasa saja, datar. Ibu segera bangkit dan menggandengku.

"Mau kemana Bu?" Tanyaku dengan bingung.

"Mikha bersamaku." Bang Arka menarik tanganku.

"Mikha, kamu tunggu di kamar Arka sebentar ya sayang? Tidak apa-apa kan nak?" Dengan lembut Ibu bertutur.

Aku masih kebingungan. Memangnya kenapa? Makanku saja belum habis.

"Kenapa harus sembunyi?" Ujar Bang Arka yang ku tangkap sebagai sindiran.

Sembunyi? Astaga! Benar saja, ada Adinda dan keluarganya. Tentu saja aku harus sembunyi. Aku hanya simpanan Bang Arka saat ini dan istri sahnya datang ke rumah mertuanya. Kenapa hatiku terasa sakit sekali. Rasanya tadi aku diterbangkan sangat tinggi dan ketika dipuncak kebahagiaan aku dijatuhkan dengan segera. Sakit! Tapi ini kenyataannya. Statusku masih abu-abu.

"Benar, kenapa harus sembunyi?" Ayah ikut menimpali.

Dengan geram Ibu berkacak pinggang.

"Ibu gak mau ya sampai Mikha ditampar lagi oleh wanita itu. Kalau sampai Mikha ditampar lagi, kalian yang akan Ibu tampar sebagai balasannya." Mata Ibu tajam memandang para lelaki di ruangan itu.

Ayah dan Bang Arka langsung terdiam saling melempar pandangan. Ibu negara telah bersuara, siapapun tak bisa mencegahnya. Dewi batinku pun ikut terkikik melihat kejadian itu.

"Aku ikut Ibu Bang." Aku ikut mengutarakan suaraku. Pagi ini aku tak ingin merusak suasana hatiku dengan melihat wajah Adinda.

Bang Arka mengangguk, menyetujuinya. Aku berjalan beriringan dengan Ibu menuju lantai dua.

"Bawa mereka masuk Bi." Samar ku dengar Ayah memberi perintahnya.

Aku telah berada di depan sebuah pintu kamar di lantai dua.

"Sayang, sementara tunggulah disini ya. Maaf Ibu tidak mengajakmu menemui mereka, Ibu tidak ingin kamu tersakiti." Ibu mengusap puncak kepalaku.

Lagian, siapa juga Bu yang mau melihat nenek lampir itu. Aku mengangguk.

"Masuklah. Ini kamar Abangmu. Lakukan apapun sesukamu di dalam kamar. Ibu tinggal dulu sebentar ya." Aku hanya mengangguk saat Ibu mengucapkannya.

Ku tatap punggung wanita paruh baya itu hingga menghilang di balik tembok saat menuruni tangga. Aku membuka pintu di balik punggungku dan memasukinya.

Wah, kamar yang rapi untuk ukuran seorang lelaki. Ah tapi memang kamar Bang Arka kan selalu rapi. Dia si penggila kebersihan. Di rumah dan apartemennya juga sangat rapi. Justru jika aku datang semua barang jadi berantakan.

Aku duduk di ranjang Bang Arka, mengambil bingkai kecil di atas nakas. Ku pandangi foto itu. Aku mengenalnya. Ini Kendrick, Bang Arka dan yang satunya sepertinya Gilang, lelaki yang pernah ku temui di klub malam saat itu.

Mereka sepertinya sudah berteman cukup lama melihat ini bukan foto baru. Aku meletakkan kembali bingkai itu dan berjalan menyusuri seluruh penjuru kamar. Ada meja kerja Bang Arka di sudut ruangan ini. Aku duduk di kursinya.

Astaga! Kapan dia mengambil fotoku saat itu? Ku ambil bingkai foto yang ada di meja Bang Arka. Dengan mata yang menatap tak percaya saat melihat gambar diriku menghiasi meja kerjanya. Ini foto saat kelulusanku dulu. Aku memakai kebaya dan memegang bunga. Kapan dia mengambil fotonya? Waktu itu kan Abang tidak jadi datang.

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now