DUA PULUH TUJUH

47 7 0
                                    

Ada ketakutan yang merayap di tubuhku saat wanita di depanku ini dengan bengisnya mencoba menerobos barikade yang di buat Pak Hadi.

Ini benar-benar bukan drama TV. Tapi ini kenyataan yang aku lihat di depan mataku, bahkan aku termasuk salah satu pemerannya.

Astaga Tuhan, cobaan apa lagi ini? Ketakutanku dituduh sebagai pelakor oleh tetangga Bang Arka atau ketakutanku tentang di arak keliling kampung, kini seakan menguap entah kemana. Yang ada di hadapanku kini jauh lebih menakutkan. Super duper menakutkan!

KEPERGOK ISTRI SAH YANG SEDANG HAMIL SAAT SEDANG REBAHAN DI RUMAH SUAMI ORANG.

Hah, aku merasa sedang menonton drama di TV yang sering Mama tonton saat sore dan malam hari. Aku menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran liarku.

"Pergi kamu! Kenapa kamu justru membela wanita sial itu?" Hardik istri Bang Arka.

Tubuhku bergetar mendengar suaranya yang menggelegar. Aku mencoba bersuara tapi tak ada yang sanggup aku keluarkan. Ingin rasanya aku berlari dan menghindar, tapi bukankan itu akan menjadi masalah baru?

Aku menarik nafas panjang, mencoba menenangkan segala risauku. Baiklah, aku akan hadapi, aku juga tak ingin Bang Arka mendapat lebih banyak masalah, apalagi jika itu karena aku.

Aku berdeham, membersihkan tenggorokanku yang sebenarnya tidak ada masalah.

"Ehm Mas Hadi, biarkan saja Mas." Ucapku berusaha membuat Pak Hadi menjauhkan tubuhnya dari ambang pintu.

Pak Hadi menatapku seakan mencari kepastian di mataku. Aku mengangguk sebagai jawaban. Pak Hadi segera menyingkirkan tubuhnya dan beranjak keluar dari kamar.

"Hai Mbak. Aku Kay. Maaf, aku tidur sembarangan di rumah kalian. Aku tidak bermaksud apapun. Aku hanya sedang istirahat." Aku berbicara selembut yang aku bisa. Mataku jelas menunjukkan ketakutan. Air mataku sebisa mungkin ku tahan. Cih, jangan cengeng saat seperti ini, Kay.

"Kamu!" Suara istri Bang Arka terdengar menyayat gendang telingaku, "kenapa kau bisa disini? Apa hubunganmu dengan suamiku?" Lanjutnya.

Aku tersentak. Meski aku tahu akan seperti ini pandangan orang terhadapku, namun saat mendengarnya secara langsung aku tetap saja terkejut. Jantungku menjadi tak terkontrol, berdegup tak beraturan.

"Tenang Mbak, aku bisa menjelaskan. Aku sungguh tidak ada hubungan apapun dengan Bang Arka. Aku hanya--" Aku menggantung kalimatku. Seketika aku bingung harus mengenalkan diri sebagai apa atau bagaimana mengenalkan diriku sendiri.

Mendadak otakku linglung. Bingung dengan pertanyaannya dan pertanyaanku sendiri. Aku bingung menjelaskan padanya. Jangankan menjelaskan pada istri Bang Arka, keberadaanku disini saja sudah membingungkan diriku sendiri hingga sulit untuk dijelaskan.

"Kamu hanya apa? Hah? Kamu selingkuhannya?" Tanya istri Bang Arka tanpa basa basi.

Mataku membelalak mendengar segala tuduhannya. Wah, jadi rasanya seperti ini ya, menyakitkan ternyata. Rasanya hatiku diremas, disayat dan diberi perasan jeruk nipis. Padahal aku bukan pelaku.

"Eh bukan mb, bukan. Dengarkan aku dulu." Suaraku terdengar panik, Pak Hadi yang menatapku ikut panik.

Aku menarik nafas panjang dan mengalihkan mataku pada Pak Hadi, sekedar ingin memberitahu dia bahwa aku baik-baik saja. Saat aku menatap Pak Hadi, ku lihat di balik pintu ada satu sosok lelaki lagi yang memperhatikanku dengan lekat. Siapa dia? Aku mendadak takut dengan tatapannya.

"Apa yang harus aku dengarkan? Dan apa yang harus kamu jelaskan? Bukankah sudah jelas kamu ada di rumah suamiku? Kalau bukan selingkuhan lalu apa? Apa ada wanita baik-baik datang sendirian ke rumah suami orang?"

BERITAHU MEREKA!!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang