EMPAT PULUH LIMA

44 3 0
                                    

"Bang, aku pamit dulu ya." Ujarku saat semua kata yang ingin aku ucapkan telah terlontar.

Pembicaraan kami di ruangan Bang Arka selesai dengan hasil yang tetap mengambang menurutku. Aku berusaha mengakhiri pertanyaanku, saat ingin menanyakan pertanyaan krusial yang sangat ingin ku ucapkan.

Aku hanya ingin mengetahui, bagaimana perasaannya terhadap Adinda, istrinya. Bagaimana mungkin hatinya secepat itu berpindah padahal ada seorang anak dalam tubuh istrinya. Hah, aku merasa tidak hanya menjadi seorang pengecut tapi telah menjelma menjadi seorang pecundang juga. Menyebalkan!

"Kamu mau menemui Aldrich." Ah apa itu? Itu bukan pertanyaan Bang, tapi pernyataan.

"Akan sangat mencurigakan kalau aku pulang tanpa mengabarinya, Bang. Tadi aku dijemput saat kecelakaan, masa iya sih aku langsung ngacir tanpa pamit. Kayak gak punya sopan santun aja Bang. Ntar dikira aku cewek apaan kali, Bang." Cercaku saat melihat keengganan di mata Bang Arka.

Wajah Bang Arka mendadak mengeras. Entah apa yang dipikirkan dosenku itu. Yang jelas aku memilih untuk segera kabur dari ruangannya. Aku sangat takut banyak mata yang melihat kami.

Bersama Bang Arka, bisa menimbukan banyak gejolak jiwa. Sesaat aku menemukan kebahagiaan dan kedamaian saat bersamanya. Namun semua itu harus dibayar dengan rasa takut dan waswas yang terus mendera. Bagaimana tidak, saat kami bersama seperti ini, kami tak ubahnya seorang pencuri yang takut tertangkap basah sedang melakukan aksi kejahatan.

"Aku akan mengantarmu." Sontak Bang Arka berdiri dan segera merapikan seluruh barangnya. Ia hendak mengajakku beranjak dari ruangannya saat tanganku mencekalnya.

Sepertinya hanya aku saja yang khawatir dan ketakutan, sedangkan Bang Arka tak ubahnya seperti manusia normal lainnya, yang sedang tidak terjerat suatu skandal.

Hah skandal ya? Sepertinya jika aku ketahuan, maka aku akan menjadi viral karena sudah membuat sensasi dengan memiliki hubungan dengan seorang dosen yang beristri. Aku bergidik membayangkannya. Aku tak habis pikir, bisa-bisanya aku masuk ke dalam alur hidup yang seperti ini.

"Abang, ingat posisi Abang di sini. Abang siapa dan Kay siapa. Abang gak bisa seenaknya gitu. Abang gak kasian sama Kay apa kalau sampai Kay harus menjalani ospek lagi dari seluruh mata di jurusan ini? Kay udah capek ospek sebulan ini Bang." Aku berkata lirih sambil menahan tubuh Bang Arka yang hendak menggandengku keluar ruangan.

"Ospek sebulan ini capek ya? Tapi kan seneng dapet gebetan." Sindiran Bang Arka masih terasa panas di telingaku.

"Apaan sih Bang?!" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan kami.

"Kamu jangan terlalu polos, Mikha. Aku yakin kamu tau kalau Aldrich menyukaimu dan dia sedang mendekatimu saat ini." Ucap Bang Arka dengan tatapan tajamnya.

"Apa salahnya Bang?" Aku berlagak polos. Sungguh aku ingin mengetahui reaksi Bang Arka.

Tangan Bang Arka sontak mencengkeram bahuku dan mendorongku hingga jatuh ke sofa yang tadi ku duduki. Ia terus mendesakku hingga tubuhku benar-benar menempek pada sofa. Wajah Bang Arka mendekat ke arahku. Aku bisa mencium bau mint dari mulutnya. Harumnya sungguh membuatku terlena. Aku menikmati harum mint ini. Ish, Kay! Sadarlah!

"Aku sudah bilang berkali-kali. Jangan mengujiku diluar batasku Mikha. Kamu milikku, hanya milikku! Jika kamu melebihi batasku, aku pastikan seluruh jurusan ini tau siapa kamu bagiku. Jadi jangan mengujiku." Suara ancaman Bang Arka membangunkan aku dari belaian harum nafas mint yang sesaat tadi membuatku terlena.

Aku mengernyit dahiku, jantungku telah sibuk menabuh genderang saat aku menatap mata Bang Arka yang telah diselimuti kabut tebal. Kabut kemarahan. Wah, dia mulai menggila! Aku baru sekali ini melihat kemarahan yang bisa dipancarkan bahkan lewat sorot mata. Hal yang baru ku ketahui tentang Bang Arka adalah sosoknya ternyata sangat posesif! Hah kenapa takdirku selalu bertemu dengan lelaki model begini ya? Aku bahkan takut untuk menarik nafas dengan bebas.

"Kay becanda Bang. Elah Bang, gitu doang marah sih." Aku mencoba menggelitiki Bang Arka sambil mengajaknya berkelakar. Tapi nihil, wajahnya tetap mengeras. Aku membuang nafas kasar. Baiklah, kamu memilih menjadi api hari ini, jadi aku yang akan menjadi airnya Bang.

"Abang, Kay mau ambil mobil dulu. Terus gimana dong? Masa iya Abang yang anter. Bisa langsung curiga dong Bang seisi kampus, lebih lagi Kak Al. Kay kan juga mau menjalani masa kuliah dengan tenang Bang." Aku menggerutu.

"Udah si mantan sama temen 'main'nya ada di jurusan ini, terus sikap Abang juga kayak gini. Bisa setres Kay Bang kalau kayak gini. Mau pinter darimana kalau tiap hari Kay harus disuguhi pemandangan yang menggerogoti kewarasan Kay." Aku terus saja menggerutu, mencoba melunakkan seonggok karang yang ada di hadapanku.

Sontak mata Bang Arka mendekik saat mendengar ucapanku. Keterkejutan itu menular padaku. Ada apa ini? Jantungku bertalu-talu.

"Sampah itu kuliah disini?" Tanya Bang Arka dengan nada tak percaya yang sangat kentara.

"Iya, sekelas lagi sama aku. Dih, malesnya!" Aku membayangkan hari-hari yang harus ku lalui dengan lelaki yang sudah menorehkan luka di hatiku.

"Habis dia sama aku. Lihat aja! Siapa nama lengkapnya?" Tanya Bang Arka dengan geram.

Aku tersentak akan pertanyaan Bang Arka. Waduh ada apa lagi? Apa pertempuran kata-kata mereka terakhir kali akan diboyong ke sini? Ini teritorial Bang Arka, aku tidak yakin Danen akan memenangkannya. Terlebih status dia dan Bang Arka yang sangat berbeda.

"Udah sih Bang, gitu aja di permasalahkan. Lagian kenapa Abang yang dendam? Ini masalah aku sama dia. Aku juga udah males nanggepin dia." Aku berusaha menenangkannya.

"Masalah yang menyangkut dirimu adalah masalahku juga." Atau aku malah semakin membuatnya berang? Aku menghembuskan nafas kasar. Ucapan Bang Arka barusan semakin meyakinkan aku, jika gerakku akan semakin sempit di kampus ini.

Aku menatap lelaki itu. Ada rasa bahagia menyeruak ke permukaan hatiku melihat segala bentuk perhatiannya. Ia berusaha menjauhkan aku dari segala ancamam yang mungkin menghampiriku lagi. Dia berusaha melindungiku. Inilah yang ada di kepalaku.

Drrtt.. Drtt..

Lagi-lagi ponselku menginterupsi kami. Belum sempat benda pipih itu ku raih, tangan Bang Arka sudah lebih dulu menggenggamnya. Dahinya berkerut sejenak saat melihat nama yang tertera di layar ponselku.

Dengan nafas beratnya Bang Arka kembali menatapku nyalang. Dia kembali mengurungku diantara kedua lengan kokohnya.

"Aku pernah gagal mempertahankan milikku karena kecerobohan dan kebodohanku. Tapi kali ini, aku tak mengizinkan sedikit pun adanya celah yang bisa merusak atau merebut sesuatu yang sudah aku miliki. Dan kamu harus ingat Mikha, kamu milikku."

Aku tersentak mendengar pernyataan Bang. Otak minimalisku memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Miliknya? Apa ini benar? Hatiku bersorak saat mendengarnya, tapi logikaku mencegahnya. Pernyataan Bang Arka seperti membawa sebuah kontradiksi yang mengharu biru. Senang dan sedih terus berkejaran. Mereka seakan menjadi sebuah satu kesatuan yang tak terpisah.

Aku yakin semua keputusan kami akan membawa sebuah masalah baru, cepat atau lambat. Dan masalahnya, aku belum siap untuk menghadapinya. Lebih tepatnya, aku seakan tidak mampu untuk menghadapinya. Aku terlalu malu dan takut.

"Bang.." Suaraku kembali terbata.

"Kenapa? Apa kamu mau melarikan diri sekali lagi? Apa kamu mau terus menghindari semua ini? Aku tanya padamu lagi saat ini Mikha, sekali lagi aku akan bertanya. Jawabanmu akan menentukan jalan mana yang akan kita tempuh. Tolong jawablah dari hati dan dengan jujur." Sergah Bang Arka segera. Ia langsung melontarkan berbagai kata-kata.

Aku kembali berdebar, entah apa yang akan ia tanyakan kali ini. Ku lihat mata Bang Arka memancarkan beribu angan dan asa saat ia menarik nafas dalam sesaat sebelum berucap.

"Katakan dengan jujur Kay, adakah Abang di hatimu?"

Mulutku terkunci rapat. Debaran jantungku terus melonjak ritmenya. Aku menatapnya sendu.

Bang Arka, bisakan aku melewati batas itu? Aku sungguh ingin melintasinya. Aku tahu ini salah, tapi hatiku sungguh tak mampu menghindari pesonamu.

Aku sungguh ingin berteriak lantang Bang, pada siapapun yang bertanya. Bahwa kamulah pemilik hatiku saat ini. Bahwa hatimulah yang ingin ku tinggali sekarang, Bang.

Tapi, bukankah itu sesuatu yang tak mungkin ku lakukan Bang?

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now