LIMA PULUH LIMA

37 4 0
                                    

"Abang mau di masakin apa?" Tanyaku saat kami sudah duduk di meja makan.

Tangan kami saling mengait satu sama lain, aku menatap mata tegas Bang Arka dan Bang Arka menatapku penuh cinta. Ya setidaknya itu yang ku lihat.

"Sayang, apa kamu ingat, ini hari pertamamu mulai kuliah. Dan jam pertama kuliahmu, aku lah yang mengajar. Dan perlu ku tegaskan sekali lagi, meski kamu kekasihku, aku tetap menerapkan hal yang sama saat di kampus. 10 menit kamu telat, jangan harap bisa masuk kelasku. Dalam satu semester, tiga kali tidak masuk karena telat, nilaimu langsung ku beri E. Kamu mengerti sayang?" Bang Arka kembali mengucapkan peraturan yang ia buat sambil menggenggam erat tanganku. Sepertinya ia mencoba menekankan kalimatnya agar aku tidak ceroboh dan tidak mempermalukannya, mungkin.

Aku memutar bola mataku, merasa bosan dengan tiap ucapannya. Selalu hal yang sama sejak aku tahu Bang Arka dosen di kampusku. Bahkan Aldrich pun tak henti-hentinya mengingatkan aku.

"Hubungannya sama pertanyaanku tadi apa Bang? Aku kan tanya, Abang mau dimasakin apa untuk sarapan?" Tanyaku dengan judes.

"Yang gampang dan gak ribet. Kalau perlu kita beli aja biar kamu gak telat masuknya. Gak mungkin dong Mikha, kalau aku meloloskan kamu saat kamu telat masuk kelasku. Aku pasti dilema tapi aku harus tegas." Ujar Bang Arka yang lebih seperti rengekan.

"Astaga Bang! Berlebihan banget sih. Kuliah jam 9 dan sekarang masih jam 7, dikira masakku selesai seharian emangnya? Aku gak mau ah kalau beli, aku maunya nyiapin buat Abang pakai tanganku sendiri." Oh Kay, mulutmu kenapa jadi lemas sekali sekarang? Refleks ku tutup mulutku dengan kedua tanganku.

Aku merutuki diriku sendiri. Entah mengapa, dengan Bang Arka aku merasa berbeda. Dia bukan pacar pertamaku, namun dengannya aku merasa hidupku lebih berwarna. Mungkin karena Bang Arka sudah menikah dan lebih memiliki banyak pengalaman jadi rasanya tiap detik yang ku habiskan bersama Bang Arka serasa sebuah dongeng indah di mata. Dan karena itu pula, aku merasa jiwa kompetitifku muncul dengan sangat kuat. Aku tidak ingin merasa kalah saat bersaing dengan Adinda, istri Bang Arka. Oh ini gila, apa aku sungguh sudah kehilangan logika?

Lihatlah, Bang Arka tersenyum lebar. Deretan gigi putihnya tersaji di hadapanku. Tangannya terulur menyentuh tanganku, berusaha membuka bungkaman yang ku lakukan sendiri terhadap mulutku.

"Jangan malu, dan jangan kamu tarik kata-katamu itu. Bagiku, itu seperti nyanyian yang dengan indah kamu lantunkan." Bang Arka membuat semburat merah di pipiku semakin kentara.

"Mikha, bolehkah aku serakah? Aku harap dan sangat berharap, kamu bisa mencintai aku dengan sepenuh hati. Hanya melihatku dan memandangku. Hanya mengikuti ucapanku dan percaya padaku. Dan kelak, jika saatnya tiba, jadilah pendampingku."

Deg.
Deg.
Deg.

Apa ini lamaran? Jadi pendamping? Oh Tuhan, benarkah yang di dengar telingaku ini? Ini sangat indah! Tapi, bisakah aku berharap lebih? Maksudku, berharap ini bukan hanya bualan semata.

Entah kenapa, air mataku langsung luruh seketika. Aku merasa tersanjung dan terharu. Rasanya, kebahagiaan sudah melambai di depan mata hanya karena ucapan Bang Arka. Aku sungguh berharap ini nyata.

Ku rasakan hangat tangannya menyentuh pipiku, menghapus butiran air mataku.

"Jangan menangis, itu menyakitiku." Lirih suara Bang Arka menarik kembali kesadaranku.

"Bang, I love you. Ich liebe dich. Je t'aime." Ucapku secara impulsif. Entah mengapa aku sangat ingin Bang Arka tahu isi hatiku dengan segera.

"Kamu belajar berapa bahasa sih? Jangan bilang cuma bisa nyebutin itu doang?" Bang Arka memicingkan matanya, menatapku penuh curiga.

Momen romantis kami langsung buyar mengingat Bang Arka yang pintar sekali membolak-balikan hati. Astaga.

BERITAHU MEREKA!!! Where stories live. Discover now