Gundah

8 5 0
                                    

Imara tampak sibuk memasukkan satu per satu barang bawaannya ke dalam sebuah koper besar yang dibentangkannya di atas tempat tidur. Saat tanpa sadar, sang ibu telah berada di ambang pintu kamarnya yang sejak tadi dibiarkan sedikit terbuka.

“Turun dulu yuk Ra. Kakak-kakak sama keponakan-keponakan kamu udah pada kumpul tuh di bawah. Mereka mau ketemu sebelum kamu ke Lampung besok.” Ucap sang ibu lembut.
“Iya, nanti Ara turun.” Jawab Imara sekenanya.

Berkumpul dengan anggota keluarga menjadi kegiatan yang cukup membosankan bagi Imara. Sejak kecil, ia dan kedua kakak perempuannya bahkan tak terlalu dekat karena jarak usia yang terpaut cukup jauh. Kedua kakak perempuannya telah menikah dan tinggal terpisah dengannya sejak ia masih duduk di bangku SD. Pandangan dan cara bergaul yang berbeda, membuat Imara akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak. Hingga sering kali ia menumpahkan isi hatinya di akun sosial media miliknya alih-alih menceritakannya pada keluarganya.

Dengan gontai, Imara menuruni satu per satu anak tangga menuju meja makan yang letaknya tak jauh dari dapur. Tampak seluruh keluarga telah berkumpul sambil menikmati beberapa makanan yang telah dihidangkan oleh sang ibu.

“Nah ini dia, penulis kita.” Ucap seorang lelaki bertubuh kurus yang duduk di salah satu sofa paling pojok di ruang keluarga saat melihat Imara datang.

Imara bergeming. Malas rasanya meladeni kakak iparnya yang  membuatnya geli mendengar ucapannya. Imara mempercepat langkahnya menuju kulkas yang ada di area dapur, lalu mengambil sekaleng minuman ringan.

“Hari raya tahun ini dan tahun depan gak bakal ada lu dong Ra.” Ucap salah satu kakak perempuannya dari meja makan.

“Iya.” Jawab Imara sekenanya.

“Semoga ketemu jodoh ya Ra di sana. Biar lu bisa move on dari Kenan.” Timpal kakak perempuannya yang lain.

Imara tak menjawab. Senyum yang nampak jelas sangat dipaksakan terlihat di ujung bibirnya. Ia kembali melangkah menuju kamarnya, melanjutkan membereskan barang-barang  bawaannya.

•       *       *       *       *       *       *

Tepat pukul sembilan malam, Kenan sampai di apartemennya. Seperti biasa, apartemen yang terlihat mewah itu masih gelap bak tak berpenghuni. Deretan lampu otomatis yang terpasang perlahan menyala bersamaan dengan derap langkah sang pemilik. Ia duduk di salah satu sofa yang menghadap ke jendela yang membawanya pada pemandangan kota Jakarta. Tatapannya menerawang selama beberapa saat, sebelum ia mengambil ponsel yang sejak tadi berada di dalam saku celananya.

Kenan mendengus pelan, ia menyadari fotonya bersama Imara masih menghiasi layar ponselnya. Melihatnya kembali, membuat satu per satu kenangannya bersama Imara bermain liar dalam ingatannya. Kenan menarik napas panjang lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Ya Tuhan.” Gumamnya lalu menyandarkan bahunya pada sofa yang didudukinya.

Kenan memejamkan kedua matanya, ia berusaha meyakinkan diri bahwa perpisahannya dengan Imara merupakan jalan terbaik yang telah diambilnya. Namun sayang, untuk kali ini hatinya bahkan sama sekali tak merespon penyangkalan. Ia tak mampu menutupi rasa cinta yang sejatinya masih bersarang di hatinya untuk sosok Imara yang sama sekali tak pernah dilupakannya.

Kenan kembali membuka matanya bergegas membuka akun twitter milik Imara. Ia tak lantas membaca setiap unggahan Imara di sana. Kenan terlihat mencari tanggal dimana ia memutuskan untuk mengkhiri hubungannya dengan Imara dan mulai membaca setiap unggahan Imara setelah hari itu.

‘Gue nggak tau apa alasan sebenarnya. Tapi, gue rasa  caranya mengakhiri semua ini bikin gue mikir kalu dia sejak awal emang nggak pernah ada perasaan sama gue.’ Tulis Imara seminggu setelah hubungannya dengan Kenan berakhir.

‘Happy birthday, I Love You.’ Tulis Imara dihari ulang tahun Kenan.

Kenan menaruh ponselnya di atas meja kecil di hadapannya, lalu kembali mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rasa bersalah kini berhasil menguasai dirinya. Demi Tuhan ia sama sekali tak mengira cinta yang dimiliki Imara untuknya benar-benar tulus. Perpisahan ini membuatnya bahkan terlihat sangat hancur.

Kenan melanjutkan membaca setiap unggahan Imara di akun twitternya, hingga sepasang matanya tertuju pada sebuah foto jadwal keberangkatan Imara menuju Lampung besok.

‘Akan jadi sangat buruk kalau gue terus di sini, kenangan bersama Kenan masih sulit buat gue lupain. Semoga di tempat baru gue bisa nemuin kehidupan yang jauh lebih menyenangkan. Dan tentu aja gue berharap gue bisa lupain Kenan dengan ketemu banyak temen baru di sana.’ Tulis Imara beserta unggahan foto jadwal keberangkatan pesawat terbangnya besok pagi.

“Imara, lu keterlaluan.” Gumam Kenan kesal.

Kenan melempar ponselnya, melampiaskan kekesalan yang kini telah menguasai dirinya. Ia berusaha memutar otak mencari cara untuk menghubungi Imara. Setidaknya untuk mencegah agar gadis itu membatalkan kepergiannya ke Lampung besok.

Tentu saja, Lampung adalah tempat yang sangat mungkin dapat dikunjunginya kapan saja. Namun, tetap saja membiarkan Imara pergi jauh dari sisinya membuat hatinya terasa begitu gundah. Bahkan ia merasa lebih baik mati dari pada harus membiarkan Imara pergi.

•       *       *       *       *       *       *

Imara duduk di ujung tempat tidurnya sambil memandang fotonya bersama Kenan dalam galeri foto di ponselnya. Untuk kesekian kalinya, rasa rindu kembali menerobos masuk membawa kembali kenangan-kenagan indahnya bersama Kenan.

Good bye, Mas.” Gumam Imara sambil mengusap foto di layar ponselnya dengan ibu jarinya.

Imara menaruh ponselnya di depan dada. Membiarkan rasa rindu menghujami dirinya bersama air mata yang mengalir deras membasahi wajahnya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur memandang tingginya langit-langit kamar melepas segala penat yang dirasakannya hari itu.

Imara masih memjamkan sepasang matanya saat seseorang terdengar mengetuk pintu kamarnya. Dengan segera, Imara mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur, lalu mmenyeka air matanya dengan kedua telapak tangannya. Ia bergegas memakai kacamatanya sebelum bangkit dari tempat tidur membukakan pintu kamarnya.

“Eh Mama, ada apa Ma?” Tanya Imara dengan nada suara bergetar.

“Boleh masuk?” Tanya sang ibu dengan senyum tipis di ujung bibirnya.

“Boleh Ma.” Imara membukakan pintu kamarnya mempersilakan sang ibu masuk.

Sang ibu tampak terdiam beberapa saat, menatap nanar seisi kamar anak bungsunya. Kamar itu kini terasa dingin dan sedikit lembab. Seakan tahu kalau sang penghuni akan meninggalkannya dalam waku yang lama.

“Kenapa Ma?” Tanya Imara sambil mendudukkan tubuhnya di ujung tempat tidurnya.

“Mama kok ngerasa kaya Mama tuh kangen banget sama kamu ya Ra, padahal kamu tuh masih di sini.” Ucap sang ibu memulai percakapan, lalu duduk persis di samping Imara.

“Mama nih ada-ada aja.” Timpal Imara dengan senyum tipis menyungging di ujung bibirnya.

“Tanpa kamu, kamar dan rumah ini pasti bakal sepi banget Ra. Mama sama papa pasti kangen banget sama kamu.” Ucap sang ibu sambil mendengus pelan masih dengan tatapan nanar.

“Ara bakal sering-sering nge-vlog kok Ma, Kita juga bisa video call kok. Sekarang kan teknologi udah canggih banget. Lagian Ara nggak lama kok di Lampung Ma, cuma dua tahun.” Imara memeluk sang ibu mencoba menenangkan.

“Mama tau kamu belum bisa ngelupain Kenan.” Ucap sang ibu sambil melepas pelukan erat Imara,  lalu menjatuhkan tatapannya sambil mengusap pelan wajah anak gadisnya. “Mama tau sedalam itu cinta kamu sama Kenan, sampe kamu mutusin buat pergi kayak gini agar kamu bisa lupain dia. Tapi Ra, mulai sekarang kamu ikhlas ya. Seiring berjalannya waktu Tuhan akan mempertemukan kamu dengan lelaki yang jauh lebih baik. Percaya itu. Siapa tau di Lampung kamu nemu jodoh. Iya kan?” Sang ibu menasihati.

“Iya Ma.” Jawab Imara dengan senyum simpul di ujung bibirnya. “Mama jangan bosen-bosen doain Ara ya Ma.” Lanjutnya lalu kembali memeluk sang ibu erat.

Sang ibu tampak menarik napas panjang, berusaha menetralisir segala kegundahan dalam dirinya. Entah bagaimana, beliau merasa kalau malam itu akan menjadi malam terakhirnya bersama anak bungsunya. Beliau pun memutuskan menemani Imara sampai gadis itu benar-benar tertidur.

A journey Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang