Gerbang perpisahan

6 3 0
                                    

“Jer, Please tolong lu handle meeting pagi ini ya, gue bener-bener harus pegi ke suatu tempat, ini mendesak banget.” Ucap Kenan pada Jerry. Sahabat terdekatnya sejak di bangku SMA, yang kini menjabat sebagai asisten manajer mendampinginya di Easy Fashion.

“Nggak bisa Nan. Om Efendi sendiri yang akan mimpin meeting hari ini.” Jawab Jerry dengan suara bergetar sedikit panik.

“Jer, Please.” Kenan merajuk sambi memakai kemeja yang baru saja diambilnya dari dalam lemari.

“Mending sekarang lu siap-siap, terus buruan ke kantor. Seenggaknya lu hadir dulu aja deh. Setor muka biar Om Efendi nggak mikir macem-macem sama lu. Karena gimana pun, kalo sampe ada apa-apa sama lu, gue juga yang kena semprot.” Jerry mencoba menjelaskan.

Kenan mendengus pelan. Tampak kekesalan kini mulai menguasai dirinya. Sejak membuka matanya pagi itu, ia telah berencana untuk menemui Imara, membujuk gadis itu untuk membatalkan kepergiannya. Bahkan Kenan sudah berencana untuk meamar Imara pagi itu.

“Oke, gue ke sana.” Ucap Kenan sekenanya sebelum mengakhiri percakapannya dengan Jerry.

Tak ada pilihan, Kenan pun bergegas meninggalkan apartemennya. Ia segera menuju mobil mewah warna hitam miliknya yang terparkir tak jauh dari pintu masuk area parkir, lalu pergi dengan kecepatan yang cukup tinggi menuju kantornya.

•       *       *       *       *       *       *

“Barang-barangnya udah semua Ra?” Tanya sang ayah memastikan.

“Udah kok Pah, ini Imara lagi nunggu taksi online dateng. Kebetulan udah deket juga.” Jawab Imara mencoba menenangkan.

“Ya udah kalau gitu.” Jawab sang ayah tenang. “Kamu hati-hati di sana ya Ra. Papa doain kamu dari sini.” Lanjut beliau dengan senyum mengembang di ujung bibir.

“Iya Ra, kamu hati-hati ya di sana.” Timpal sang ibu sambil membenamkan tubuh Imara dalam dekap hangat beliau. “Mama pasti bakal kangen banget sama kamu.” Lanjut beliau lalu melepas kembali pelukannya.

Suara klakson mobil terdengar tepat di depan rumah Imara. Ingin rasanya sang ayah mengantar Imara sampai ke bandara. Hanya saja, sejak kecelakaan yang menimpa beiiau dua tahun lalu, beliau tak lagi mampu mengendarai mobil karena kondisi kaki beliau yang sudah tak memungkinkan.

Imara segera berpamitan, lalu menaiki taksi online yang dipesannya menuju TK Pertiwi. Dimana nantinya, ia akan pergi bersama beberapa guru lainnya dengan mobil yang telah disediakan menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Imara tampak begitu tenang hingga ponsel miliknya berdering dengan nama Ariel di layar ponselnya.

Gabriel Joseph, merupakan satu dari beberapa sahabat terdekatnya. Selain dikenal sebagai kekasih Tasya, Ariel -sapaan akrabnya-, juga mampu bercengkrama dengan makhluk-makhluk tak kasat mata sejak masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bahkan, ia kerap kali menjadi penyampai pesan dari ruh-ruh yang masih berkeliaran di dunia kepada orang-orang tercinta mereka yang masih hidup. Meski kerap dianggap aneh, namun dengan sikap ramahnya, ia pun dapat dengan mudah memiliki banyak teman.

“Udah sampe mana Ra?” Tanya lelaki itu memulai percakapan.

“Jalan ke TK. Gue kan ke bandara bareng guru-guru yang lain juga.” Jelas Imara santai.  “Lu jangan kangen sama gue ya Riel.” Imara terkekeh. “Nggak ada gue, pasti nggak akan ada juga yang bakal ngusilin lu sama si Tasya.” Lanjutnya masih dengan ekspresi yang sama.

“Nggak lah. Ngapain juga gue ngangenin lu? Lu kan nggak akan pergi kemana-mana.” Jawab Ariel santai.

Imara tak menanggapi serius ucapan Ariel. Mereka tampak masih melanjutkan obrolan mereka. Sementara di luar sana, cuaca yang semula tampak sangat terik berubah menjadi sangat gelap. Awan hitam pun tiba-tiba saja muncul menutupi seluruh kota. Tak berselang lama, hujan deras beserta angin kencang pun turun membasahi bumi.

Oh my God, ujannya deras banget ya Pak.” Ucap Imara sambil melemparkan pandangannya ke luar jendela sesaat setelah mengakhiri percakapannya dengan Ariel.

“Iya nih Mbak. Kabutnya juga jadi tebel banget.” Jawab pria paruh baya yang tampak berusaha keras menstabilkan laju mobilnya di tengah kabut yang begitu tebal. “Mana masih cukup jauh lagi.” Keluh beliau.

•       *       *       *       *       *       *

Kenan tampak bergegas menuju lift yang akan membawanya ke ruangan meeting. Ia mempercepat langkahnya mendekati Jerry yang sudah menunggunya di samping pintu ruangan sesaat setelah ia sampai.

“Cepet masuk! Om Efendi sama Salina udah di dalam.” Bisik Jerry pada Kenan yang tampak sedang begitu terburu-buru.

“Oke, Thanks Jer.” Jawab Kenan sekenanya sambil mempercepat langkah masuk ke dalam ruangan.

Kenan mempercepat langkahnya memasuki ruangan. Di dalam sana, tampak sang adik dan sang adik ipar telah bersiap menghadiri rapat direksi, Sementara sang ayah yang telah berada di ruangan lebih dulu, menatap tajam ke arahnya dari kursi presiden direktur yang beliau duduki.

“Pagi Mas.” Sapa Salina pada sang kakak sesaat setelah Kenan duduk di tempatnya.

Kenan menundukkan kepalanya membalas sapaan sang adik dan adik iparnya. Ia tampak mencoba untuk terlihat santai, sementara meeting berjalan dengan segala gundah yang sejak tadi menggelayutinya.

Kiranya, sudah empat puluh lima menit meeting berjalan. Sementara jam telah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Sudah tak ada waktu untuk tetap menunggu. Dengan segera, Kenan bangkit dari duduknya lalu bergegas meninggalkan ruangan mengabaikan puluhan pasang mata yang tertuju padanya.

•       *       *       *       *       *       *

“Ujannya deres banget ya Pak. Serem.” Ucap Imara pada pria paruh baya di hadapannya.

“Iya nih Mbak, saya jadi bingung gimana.”

Belum sempat pria paruh baya itu mengakhiri kalimatnya, sebuah truk tiba-tiba saja berhenti tepat di hadapan mobil yang dikendarainya. Dengan sigap, pria itu pun menghindar. Namun sayang, mobil itu justru tergelincir menabrak pembatas jalan. Disusul beberapa mobil di belakangnya yang tak mampu menghindar dari tabrakan beruntun itu.

Mobil yang ditumpangi Imara kini tampak ringsek bersama asap tebal yang keluar dari mesinnya. Warga sekitar pun mulai berdatangan berusaha memberikan pertolongan. Sementara perlahan ruh dari tubuh Imara keluar meninggalkan tempatnya.

Imara yang kini dalam wujud transparan, menyaksikan bagaimana tubuhnya dievakuasi dari kecelakaan yang membuatnya berada dalam keadaan kritis saat ini. Ambulans dari rumah sakit terdekat pun mulai berdatangan membawa satu per satu korban termasuk Imara.

“Pak, tolong selamatkan saya Pak. Tolong.” Ucap Imara sambil mengusap kedua telapak tangannya dengan air mata mengalir deras membasahi wajahnya, memohon pada seorang lelaki berseragam perawat yang tengah memberikan pertolongan pertama unuknya yang telah tampak tak berdaya.

•       *       *       *       *       *       *

Dengan kecepatan tinggi, Kenan mengendarai mobilnya menuju TK Pertiwi. Ia berusaha menemui Imara sebelum gadis itu menuju ke Lampung. Kenan terus berfokus dengan rute di hadapannya, hingga beberapa polisi lalu lintas memberikan aba-aba agar mobil yang dikendarainya tidak melewati jalan terdekat menuju TK Pertiwi. Sementara mobil yang ditumpangi Imara masih berada di badan jalan saat Kenan berbalik arah meninggalkan jalan itu.

Tak berselang lama, Kenan pun sampai di tempat tujuan. Sementara hujan pagi itu sudah mulai reda. Beberapa orang di depan TK Pertiwi tampak panik dan menangis. Sementara sisanya, tampak masuk ke dalam mobil bergegas meninggalkan tempat itu.

“Mas Kenan.” Sapa seorang pria paruh baya dengan seragam security yang dikenakannya.

“Pak Sam, Imara udah berangkat?” Tanya Kenan dengan napas yang masih tersengal.

“Mbak Imara ke-kecelakaan Mas. Sekarang udah dibawa ke rumah sakit Pelita Mas.” Jelas pria yang akrab disapa Pak Sam itu terbata.

Demi Tuhan, kalimat itu membuat Kenan ta mampu berkata-kata. Tubuhnya terasa kaku seketika dan bibirnya pun terasa begitu sulit untuk digerakkan. Andai saja ia tahu hal buruk akan menimpa Imara, sudah pasti ia akan mengikuti kata hatinya untuk tidak menghadiri meeting di kantornya pagi tadi.

A journey Way Back HomeWhere stories live. Discover now