Dia... Pergi

7 3 0
                                    

“Tolong selamatkan saya Pak, saya mohon.” Ucap Imara lirih pada beberapa petugas medis yang tengah memberikan pertolongan pertama untuknya di IGD.

Tak seorang pun menghiraukan ucapan Imara. Mereka tampak begitu sibuk memberikan pertolongan untuk Imara yang telah tampak begitu tak berdaya. Wajahnya tampak sangat pucat dan seluruh tubuhnya terasa begitu dingin.

Seseorang tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan ruh Imara, membuatnya tepat berada di hadapan orang itu. Sososk lelaki bermata sipit dengan pakaian serba hitam itu menjatuhkan tatapan tajamnya pada Imara yang masih gemetar menghadapi segala pristiwa yang baru saja menimpanya.

“A-Ariel.” Gumam Imara masih dengan tubuh yang gemetar hebat. “Ngapain lu disini?” Lanjutnya.

Belum sempat Ariel menjawab pertanyaan Imara, sosok Kenan terlihat tengah berlari menuju ruang IGD menghampiri rombongan petugas medis yang tengah berusaha memberikan pertolongan pada Imara yang masih terkulai di atas brankar.

Kenan tampak begitu panik melihat gadis yang sangat dicintainya berada dalam kondisi kritis. Ia bahkan tak henti menyalahkan diri atas segala hal bodoh yang selama ini telah dilakukannya pada Imara yang jelas-jelas masih sangat mencintainya.

Layar EKG tak lagi menunjukkan detak jantung yang stabil. Suara dentingannya terdengar memekakan telinga hingga seluruh dunia terasa runtuh dibuatnya. Semua yang berada di sekitar Imara terlihat lemas melepaskan harapan besar yang semula mereka pegang teguh membiarkan Imara pergi untuk selama-lamanya.

“Nggak! Ini nggak mungkin!” Teriak Imara histeris. Sementara Ariel berusaha memeluk gadis itu mencegahnya agar tak melkukan hal yang tak seharusnya. “Gue belum mati kan Riel? Gue masih hidup.” Imara terus meronta mencoba melepaskan diri dari Ariel.

“Waktu kematian, 11.03.” Ucap salah satu petugas medis. Sementara kain putih kini telah menutupi tubuh Imara dengan sempurna.

“Dokter.” Ucap Kenan lirih pada seorang lelaki berseragam dokter yang kini berdiri tepat di hadapannya.

“Maafkan kami Pak.Semoga bapak diberi ketabahan.” Ucap lelaki itu sambil menepuk pelan bahu Kenan lalu melangkah pergi meninggalkan ruang IGD.

Kenan terdiam. Hatinya terasa hancur. Kepergian Imara yang begitu mendadak membuatnya berpikir segalanya telah berkhir.

Senyum dan suara tawa khas Imara tak lagi dapat didengarnya. Hanya tatapan nanar yang ditujukannya pada jasad Imara yang tertutup kain putih dengan sempurna.

“Riel, Gabriel please Riel tolong lakuin sesuatu Riel. Ini salah Riel. Gue nggak mungkin meninggal kaya gini.”Ucap Imara dalam isak tangisnya sambil terus mengguncang-guncang tubuh Ariel yang berdiri di depan ruang IGD.

Tangis Imara pun pecah. Pun Kenan dan beberapa orang yang ada di dalam ruang IGD. Sulit bagi Imara dan Kenan mempercayai semua yang tengah menimpa mereka. Imara terdiam. Sepasang matanya mencoba melihat apa pun yang dapat dilihatnya saat itu. Imara menyeka air matanya lalu berlari sekuat tenaga kembali ke dalam IGD menghampiri Kenan yang masih menangis pilu di depan jasadnya.

“Mas Kenan.” Ucap Imara lirih sambil berusaha mencoba menggapai tangan Kenan.

Imara terdiam. Kenan bahkan tampak tetap bergeming dalam isak tangisnya. Semula, ia berharap masih ada satu diantara orang-orang di sekitarnya dapat melihat atau mendengarnya. Namun, semua harapannya pupus sudah. Tak ada yang mampu dilakukannya saat ini selain mengikhlaskan segalanya.

      *       *       *       *       *       *

Imara duduk seorang diri di halaman depan rumahnya, menyaksikkan setiap orang lalu-lalang memberikan ucapan belasungkawa pada keluarganya. Hancur rasanya melihat seluruh anggota keluarganya menangisi kematiannya. Ingin rasanya ia memeluk kedua orang tuanya dan mengungkapkan rasa cintanya pada mereka. Namun, dalam wujudnya saat ini semua itu mustahil untuk dapat dilakukannya.

Imara bangkit dari duduknya saat Kenan keluar dari dalam mobil yang baru saja diparkirkannya tak jauh dari rumah Imara. Dengan pakaian serba hitam dan kacamata hitam yang mnutupi mata sembabnya, Kenan melangkah masuk menyalami kedua orang tua Imara. Sementara Imara tampak gusar. Takut kalau-kalau sang ayah akan melampiaskan kemarahan beliau pada Kenan.

“Maafin saya Pah.” Gumam Kenan sambil mencium tangan ayah Imara.

Alih-alih menjawab, sang ayah yang tampak begitu kesal bergegas kembali ke dalam rumah, meninggalkan Kenan yang sejatinya sangat tak diharapkan kehadirannya oleh beliau.

“Saya sama sekali nggak tahu Pah kalau Imara akan mutasi ke Lampung.” Ucap Kenan berusaha menahan langkah ayah Imara. “Rencananya, hari ini saya mau lamar Imara, dan bujuk dia supaya nggak pergi. Tapi, saya terlambat Pah. Maafin saya.” Lanjutnya mencoba menjelaskan.

Sang ayah bergeming tetap di tempatnya. Ucapan Kenan sama sekali tak mampu menyembuhkan rasa sakit hati beliau atas kepergian Imara, serta sikap buruk Kenan terhadap Imara di masa lalu. Kehadiran Kenan saat itu justru menambah luka di hati beliau.

“Nan, kayaknya lebih baik sekarang kamu pulang. Kehadiran kamu di sini saat ini sepertinya kurang diharapkan sama Papah.” Ucap kakak sulung Imara mencoba menengahi.

“Tapi, saya ke sini untuk melihat dan menemani gadis yang saya cintai untuk terakhir kalinya Mbak.” Jawab Kenan sedikit gemetar.

“Ya udah, kalau gitu kamu ketemu dulu sama Imara sebentar. Nanti kalau kamu mau ikut ke pemakaman kamu bisa susul kita tanpa sepengetahuan Papah.” Ucap kakak sulung Imara mencoba membrikan solusi.

Kenan mengangguk pelan sambil menyeka air matanya dengan tangan kanannya. Ia segera masuk ke dalam rumah berjalan mendekati jasad Imara yang sudah berada di dalam peti. Tangis Kenan pecah kala itu. Ia tak mampu lagi menutupi segala penyesalan atas keputusannya untuk melepaskan Imara yang jelas-jelas sangat dicintainya.

“Maafin saya Ra, saya bodoh udah lepasin kamu. Maafin saya.” Ucap Kenan dalam isak tangisnya.

Dengan air mata yang masih mengalir membasahi wajahnya, Imara berjalan mendekati Kenan, lalu membenamkan tubuh Kenan dalam dekapannya. Demi Tuhan situasi ini membuat hatinya begitu hancur.

      *       *       *       *       *       *

Imara tampak menatap nanar sebuah makam bertuliskan namanya.Semua yang mengantar ke peristirahatan terakhirnya tampak sudah benar-benar meninggalkan area pemakaman. Hanya dirinya seorang diri di sana saat itu.

Imara menyadari sebuah kejanggalan terjdi pada dirinya. Yang ia tahu, malaikat akan membawanya prgi meninggalkan dunia sesaat setelah kematiannya. Namun, bagaimana dirinya masih tetap berada di dunia dan menyaksikan semuanya. Imara terus menerka-nerka, berbagai spekulasi pun mulai bermunculan dalam benaknya.

“Masih ada permasalahan yang belum terselesaikan antara lu sama Kenan.” Ucap seorang lelaki terdengar persis dari belakang tempat Imar berdiri.

Imara menoleh, menjatuhkan pandangannya pada sumber suara. Tampak sosok Ariel tengah berjalan mendekati Imara yang masih tampak kebingungan.

“Maksud lu?” Tanya Imara bingung dengan tubuh tampak sedikit gemetar.

“Lu punya waktu seratus hari untuk nyelesein masalah lu sama Kenan.” Ucap Ariel sambil menjatuhkan pandangannya pada jam tangan yang melingkar di tangan kanannya.

“Nyelesein?” Tanya Imara memastikan. “Caranya?”

“Hiduplah kembali menjadi m, lalu temuin Kenan dengan diri lu yang baru. Selama seratus hari gue akan nemenin lu nyelesein masalah lu sama Kenan. Dan kalau lu berhasil, lu bisa kembali hidup menjadi manusia seutuhnya.” Jelas Ariel dengan senyum simpul di ujung bibirnya.

Imara tertegun. Ia sama sekali tak mengira apa yang pernah dilihatnya dalam drama-drama fantasi kesukaannya kini justru menimpanya..Hidup kembali menjadi manusia seutuhnya jelas tidak mungkin pikirnya. Namun, jika itu mukjizat, sebuah tantangan besar pasti telah menungunya.

A journey Way Back HomeWhere stories live. Discover now