Hari Baru Pemberian Tuhan Pt. 2

8 2 0
                                    

“Jerry, kamu serius Kenan udah masuk kerja?” Tanya Pak Effendy pada Jerry yang kini berdiri tepat di hadapan beliau.

“Iya Om, Kenan ada di ruangannya sejak pagi.” Jawab Jerry dengan nada suara sedikit bergetar.

Pak Effendy menarik napas panjang. Beliau sama sekali tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Kenan hari itu. Wajar jika Kenan masih bersedih atas kematian Imara, tapi bagaimana bisa ia justru memilih bekerja dan bersikap seakan tak terjadi apa pun padanya. Terlebih, baru sehari Imara meninggal dunia.

“Mungkin Kenan udah move on dari Imara ya Jer, peristiwa kemarin mungkin hanya sebatas kesedihan yang dirasain dua orang yang pernah saling kenal.” Ucap Pak Effendy menduga.

Senyum yang tampak sedikit dipaksakan tergurat di wajah Jerry. Ia yakin dengan sangat apa yang dilihatnya di malam setelah kepergian Imara sungguh bertolak belakang dengan dugaan Pak Effendy. Namun tentu saja, akan jadi sangat canggung jika ia menyampaikan hal itu pada ayah Kenan yang juga atasannya di kantor.

      *       *       *       *       *       *

“Nan, semalem lu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan?” Tanya Jerry memulai percakapan sesaat setelah duduk di salah satu kursi kosong di sudut restoran cepat saji yang letaknya tak jauh dari kantor.

Seperti biasa, mereka selalu menyempatkan diri untuk makan siang di restoran yang menyajikan masakan khas sunda favorit mereka. Sama seperti biasanya, tak terlihat sedikit pun kesedihan terpancar dari wajah Kenan.

“Enggak lah.” Jawab Kenan tegas. “Semalem aja gue mabuk Jer, gimana mau ngelakuin hal aneh-aneh coba?” Lanjutnya sambil memberi jeda pada kalimatnya. “Lagian lu tuh kenapa sih? Nggak biasanya tau lu nanya macem-macem gini ke gue. Heran deh.” Tandasnya kesal.

(“Mungkin Kenan udah move on dari Imara, peristiwa kemarin mungkin hanya sebatas kesedihan yang dirasain dua orang yang pernah saling kenal.”)

Ucapan Pak Effendy kembali bermain liar dalam ingatan Jerry. Mungkin benar apa yang dikatakan beliau tadi, dan tak seharusnya ia membuka kembali luka lama yang sedang sangat berusaha ditutupi oleh sahabatnya itu. Jelas apa yang dilakukannya tadi dapat membuat Kenan begitu kesal. Pikirnya.

“Jangan berusaha terlalu keras ya. Semua butuh waktu. Oke.”Ucap Jerry sekali lagi mencoba menyemangati.

Entah apa maksud Jerry mengatakan hal yang sama berulang-ulang hari ini. Meski mulai terasa sedikit terganggu, Kenan tampak tak ingin ambil pusing dengan segala yang dialaminya. Kenan tampak mulai menyantap makan siangnya saat sebuah pesan singkat dari sang ayah diterimanya.

Kenan menjatuhkan tatapannya pada display ponselnya membaca setiap kata daam pesan itu dengan seksama sambil terus menyantap makan siangnya dengan lebih cepat.

“Kenapa Nan?” Tanya Jerry sedikit berbasa-basi.
“Papah nyuruh gue ke ruangannya Jer.” Jawab Kenan sekenanya.

      *       *       *       *       *       *

“Masuk!” Seru Pak Efendi setelah seseorang mengetuk pintu ruangan beliau.

Dari balik pintu, tampak sosok Kenan dengan senyum simpul di ujung bibirnya menyapa ramah sang ayah, sebelum melangkahkan sepasang kakinya masuk ke dalam ruangan.

“Duduk Nan.”Ucap Pak Effendi sesaat sebelum bngkit dari meja kerjanya, lalu menghampiri Kenan dan duduk di sofa yang ada di tengah ruangan.

Ruangan itu terasa hening untuk beberapa saat, Pak Effendi tak lantas mengutarakan maksud dan tujuan beliau memanggil Kenan, sepasang mata beliau menatap Kenan dengan seksama, seakan merasa begitu kagum pada sang anak sulung.

“Ada apa Pah?” Tanya Kenan masih dengan senyum yang sama.

“Oh iya, gini Nan, hari jumat nanti ada pertemuan dengan Trust Me Grup. Kamu tahu kan perusahaan yang terkenal banget sama batiknya itu?” Pak Efendi memulai percakapan dengan sedikit terbata. Dari bagaimana beliau menyampaikan hal itu, jelas ada maksud lain dibaliknya.

“Tahu Pah. Terus? Papah mau Kenan ke sana?” Tanya Kenan berusaha menerka.

“Iya Nan. Tolong wakilin Papah ke pertemuan itu. Ya?” Jawab Pak Effendi mantap namun sedikit merajuk.

“Tapi, kenapa harus Kenan yang pergi?” Tanya Kenan tampak mengerutkan dahinya kebingungan. Tak biasanya sang ayah melibatkannya dalam sebuah pertemuan penting seperti itu.

“Karena Papah percaya sama kamu Nan. Kamu bisa membawa perusahaan ini menjadi jauh lebih baik.” Ucap beliau dengan tawa lepas sambil menepuk pelan bahu Kenan mencoba meyakinkan.

      *       *       *       *       *       *

Kenan duduk di mini bar yang menyatu dengan bagian dapur di apartemennya. Tangan kirinya menggenggam kaleng minuman ringan, sedangkan sepasang matanya tertuju pada foto seorang gadis bernama Cindy, yang CV nya berhasil menyita perhatian Kenan sejak pagi tadi pada layar ponselnya.

Berbagai kenangan lamanya bersama gadis cinta pertamanya yang juga bernama Cindy pun mulai bermain liar dalam pikirannya. Rasanya sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan gadis yang selama ini sangat dirindukannya itu.

“Terima kasih Tuhan, telah mempertemukan kami kembali.” Batin Kenan dalam doanya.

      *       *       *       *       *       *

Suara tumit sepatu setinggi lima senti beradu dengan lantai marmer terdengar sedikit menggema di antara riuh ramai lalu-lalang karyawan yang baru saja sampai di kantor Easy Fashion pagi itu. Sosok gadis berperawakan sedang, berkulit putih, dan berambut cokelat gelap dengan blazer dan mini dress yang dikenakannya, tampak berbaur bersama beberapa beberapa orang yang juga berpenampilan serupa, di depan sebuah lift yang akan membawa mereka menuju ruangan masing-masing.

Gadis itu segera melangkah ke dalam lift sesaat setelah pintu terbuka. Diikuti beberapa orang di sekitarnya. Suasana lift pagi itu tampak ramai dan penuh sesak. Hingga beberapa orang yang tak tertampung harus rela untuk mengantre kembali.

Lima belas, angka yang tampak di monitor samping pintu lift sebelum berdenting dan pintu pun terbuka. Gadis itu segera melangkah keluar mengelilingi hampir setiap koridor di lantai itu mencari ruangan yang diberi tahukan lelaki yang meneleponnya kemarin. Kurang lebih sepuluh menit gadis itu berkeliling, hingga ia menemukan tempat yang ditujunya.

Gais itu tampak menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan aura positif dalam dirinya. Hal itu sudah menjadi kebiasaannya sebelum memulai hal besar dalam hidupnya. Begitu pun hari itu. Hari dimana takdir mempertemukannya kembali dengan lelaki yang dicintainya.

Dengan keberanian yang masih terkumpul seadanya, gadis itu mengetuk pelan pintu ruangan di hadapannya yang masih tertutup rapat.

“Masuk!” Seru seorang lelaki dari dalam ruangan terdengar samar-samar di telinga gadis itu.

Sekali lagi, gadis itu menarik napas panjang sebelum memberanikan diri membuka pintu ruangan, lalu sedikit menundukkan tubuhnya menyapa seorang lelaki berkacamata dengan stelan kemeja lengan panjang yang sengaja digulung setengah bagian lengannya, menambah ketampanan yang telah dimilikinya. Tentu aja gadis itu pun menjadi sangat terpesona dibuatnya.

“Siang Pak.” Ucap gadis itu berusaha memulai percakapan dengan lelaki yang maih tampak duduk di meja kerjanya itu.

“Iya, siang. Silakan.” Timpal lelaki itu dengan senyum semringah di wajahnya, lalu bangkit berjalan menghampiri gadis yang masih berdiri di ambang pintu ruangan itu.

Lagi, Imara berhasil tersihir oleh ketampanan Kenan yang begitu luar biasa baginya. Dapat melihat kembali sosok yang selama ini sangat dirindukannya dari jarak yang begitu dekat terasa begitu membahagiakan hingga tubuhnya seketika merasa begitu kaku dan sulit untuk bergerak.

A journey Way Back HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang