Bab 04 - Pak Budi, Joshua dan Ayahnya

206 53 86
                                    

     Kamar yang diinap, terbilang lumayan. Tidak jauh beda dari tempat mereka tinggali yang cukup sederhana.

     Jendela kayu terbuka lebar, mengundang mentari masuk dan menghilangkan jejak kegelapan di dalamnya.

     Mereka duduk berseberangan di kasur masing-masing. Joshua termangu di dekat jendela sambil mengamati ayam yang sedang berkokok. Sementara Hendra terlihat sibuk menggosokkan handuk ke rambut keritingnya yang basah.

     "Josh ...."

Sesaat hanya terdengar dehaman panjang.

     "Nggak mandi?"

     "Nanti saja, aku lagi malas," timpal Joshua dengan nada tak berselera.

     Pergerakan tangan Hendra berhenti, lantas menyampirkan handuk ke lehernya.

     "Josh, kamu kepikiran apa semalam?  Kayak gelisah gitu. Sebenarnya ada apa?" tanya Hendra hati-hati ketika dia mendapati raut masam Joshua.

     "Nggak apa, hanya saja ... apa yang dikatakan Pak Budi semalam ngingatin aku dengan ibuku."


     Joshua menatap Hendra sekilas lalu kembali menoleh ke arah jendela. Membayangkan kembali wajah sang ibu, melalui kumpulan awan yang terukir pada langit biru yang membentang luas. Terakhir kali dia melihatnya dalam keadaan tersedu-sedu. Sungguh dia baru memikirkan perasaan Seo Mi dan menyadari keegoisannya yang berhasil memanipulasi diri.

     "Yang diceritakan Pak Budi memang sangat menyentuh. Aku jadi kangen dengan ibuku di kampung halaman, di Pontianak. Semenjak dua tahun merantau ke sini buat menghasilkan uang, aku belum bisa mencari rumah huni sendiri," tutur Hendra diakhiri tawa getir.

     "Padahal ibuku yang ngusuli hal itu, agar beliau bisa pindah ke sini dan tinggal bersamaku."

Dalam sekejap ucapan Hendra terhenti lantas menghela napas pelan.

     "Tapi ... ketika aku mengirimkan surat ke ibuku, aku belum mendapatkan balasan surat dari beliau. Dan suatu saat, o'omku membalas suratku dan dia bilang kalau ibuku meninggal akibat serangan jantung."

     "Jika aku diberi kesempatan, aku akan balik dan berziarah ke pemakaman beliau nanti."

Joshua bisa menangkap ekspresi Hendra yang setengah pilu. Bahkan dia cukup terperangah akan ketegaran temannya itu.

     "Maaf, Hen. Aku turut berduka atas kepergian ibumu."

     "Makasih Josh, lalu gimana denganmu?"

     "Aku sangat menyesal meninggalkan ibuku sendiri di Busan dan menyaksikan beliau menangis di depanku."

     Joshua menunduk sangat dalam. Hendra bangkit dari kasurnya lalu melempar diri ke sisi kasur Joshua sambil menatapnya tidak percaya.

     "Sebenarnya apa tujuanmu datang kemari, Josh? Melarikan diri dari ibumu?"

     Joshua lantas menoleh ke arah Hendra.

     "Aku ingin mencari ayahku. Sudah setahun lebih beliau nggak pulang ke Busan. Karena itulah aku bisa sampai dan tersesat di sini. Andai saja, waktu itu aku nggak gegabah dan mencari kepastian dulu dari ibuku."

     Hendra menghela nafas pelan, meralat penilaiannya terhadap Joshua.

     "Kenapa kamu nggak kasih tahu dari awal Josh? Aku kan bisa membantu."

     Hendra yang duduk di sampingnya, menepuk pelan sebidang punggung Joshua. Menyalurkan semangat yang menyala-nyala.

     Joshua lekas tersenyum.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now