Bab 12 - Shakespeare versus Dryden

109 30 7
                                    

     Joshua memposisikan tubuhnya untuk duduk sesantai mungkin, memfokuskan pikiran pada satu titik di selembar kertas double folio yang tergeletak di atas meja tanpa tersentuh dua atau tiga kata pun. Walau setidaknya dia berhasil membuat sebuah goresan yang tak berguna sama sekali.

     Dia mengernyitkan dahi, saking serius seperti sedang berkomunikasi kepada kertas itu melalui telepatinya, dan tentu saja menyinkronkan ide agar mau bekerja sama dalam membuat sebuah karya yang fantastis.

     Semenjak dia diterpa badai writer's block dua hari dua malam, produktivitas yang menjadi kewajibannya terhenti sementara waktu. Dan kini, cukup sulit bagi Joshua menorehkan kembali beberapa kata di dalam benak.

     Itu adalah hal normal.

     Cenderung kebanyakan penulis bahkan yang terkenal di luar sana pun pasti juga merasakan apa yang dirasakannya. Keadaan dimana otak tak ingin dipaksa terus-menerus dalam mengerjakan pekerjaan yang sama berulang kali.

     Sama halnya ketika seseorang menuangkan teh hambar ke dalam cangkir, memang tidak ada rasa apa-apa. Apabila teh tersebut diberi sesendok gula maka akan terasa pas manisnya.

     Namun, lain cerita ketika teh yang sudah manis itu diberi sesendok gula lagi maka akan terasa begitu manis sampai-sampai membuat mulut seseorang eneg untuk menenggak sisa teh berikutnya sehingga berujung tak sanggup lalu membiarkan secangkir teh itu bersisa.

     Dulu, writer's block ini seringkali terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut agar tidak berkelanjutan, Joshua akan membaca ulang tulisan-tulisan lamanya seperti yang dia lakukan sekarang.

     Membolak-balik notebook mungil dan beberapa media sejenis kertas yang juga dia jadikan tempat menampung bait-bait puisi miliknya.

     Tidak hanya itu, Joshua juga mencari referensi dari bacaan-bacaan surat kabar, terlebih berita-berita yang disajikan bisa menjadi sumber inspirasi menarik lalu diangkat menjadi tema dan pokok dalam sebuah puisi. Bahkan kalau sempat, dia bisa membaca karya epik penulis lain yang selalu menginspirasi dirinya.

     Setelah berkutal dalam jangka waktu kurang lebih satu menit, dia berhasil melewati masa krisis ide berkat andalan membaca kilat.

     Joshua mengontrol bolpoint agar bergerak pada landasan kertas, menuntun ide kepada deretan bait-bait yang kaya akan diksi indah nan menggugah.

     Masih berada pada jalurnya, hingga tanpa diundang, hempasan pintu kuat membuat bolpoint hilang kontrol kemudian keluar dan melenceng pada jalur sehingga mencetak coretan sempurna.

     Akibatnya, Joshua mengerang ketika mendapati Hendra menutup pintu secara agresif, berjalan menyusuri kasur kedua yang berseberangan dengannya lalu menghempas tubuh yang lunglai seusai dari lantai bawah.

     "Woi Hendra ...," panggil Joshua.

     Hendra semakin membenamkan wajah pada bantal, masih dalam keadaan terlungkup, dan tampak Hendra sama sekali tidak meladeni Joshua. Malah sengaja mengorok sejadi-jadinya menciptakan bunyi yang khas, mengalun-ngalun dalam kamar dengan volume yang cukup tinggi.

     "Hendra Gunawan!"

Suara lengkingan babi hutan bertambah keras. Mengalahkan teriakan Joshua yang kini cukup merasa jengkel terhadap ulah Hendra yang demikian.

Joshua tak tinggal diam. Dia menggeram sembari menggulung-gulung surat kabar yang sedari tadi dia gunakan, lalu beranjak dari kursi. Berjalan terburu-buru ke arah tubuh yang bersayup lemas kemudian gulungan itu dilucutkan lima kali tepat pada kepala Hendra sehingga membuat Hendra mengaduh lalu membalikkan badan dalam posisi terlentang.

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang