Bab 37 - Jendela Joshua

112 17 1
                                    

Embun pagi hari kian terasa.
Membuat kesejukan lebih bermakna.
Hingga membekas di relung jiwa.
Kepada pribadi yang putus asa.

Melirik orang-orang dari jendela.
Diri ini mulai bersenandika,
"Kapan bisa menjadi seperti mereka?"
Lantas ia menuai beragam kata.

Untuk apa pula mengikut massa?
Jika ia tak jauh dari standar kaya.
Boleh jadi diri ini berbeda,
Memperkaya massa lewat bait aksara.

Walau disepelekan sejumlah mata,
Hati ini kukuh menguatkan asa.
Membantah omongan-omongan hina,
Menjadi pribadi yang tak disangka-sangka.


     Puisi pada halaman pertama itu seakan melemparnya ke delapan tahun silam, saat dimana seorang anak laki-laki mematung di depan meja belajar dan mulai menorehkan bait-bait pertama di sebuah notebook mungil, hadiah ultah-nya yang ke dua belas tahun.

     Tepatnya, 20 Januari 1997.

     Sambil menengok ke jendela, anak laki-laki itu lantas mengumpamakan jendela sebagai sekat antara dunianya dan dunia luar.

     Dari sini dia dapat menyimpulkan orang-orang yang berada di sana hidup penuh kesibukan dan menghabiskan waktu sepanjang hari demi meraih uang, jabatan, dan kesuksesan.

     Sementara dirinya berpikir bahwa mengejar sesuatu seperti itu akan sangat melelahkan.

     Di usia semuda itu, Joshua mencurahkan isi hati dan pemikiran dalam balutan puisi.

     Ingin membuktikan diri bahwa dia bisa menjadi seseorang yang bukan hanya berbeda tapi juga berdampak hanya melalui sentuhan aksara yang menyanyat jiwa.

     Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun kian tak terasa terlewatkan.

     Semakin lama skill menulisnya semakin meningkat. Semakin banyak pula coretan yang mengisi notebook mungil itu sampai nyaris separuh meja belajar dipenuhi kertas-kertas tulisan, tak lupa pula menempelnya secara bertumpuk-tumpuk di dinding dekat meja belajar bagaikan ribuan pulau puisi.

     Saat seorang remaja tanggung kelas 11 SMA itu tampak bingung dengan naskah-naskahnya, tercetuslah ide untuk mencoba memamerkan salah satu karya tersebut di mading sekolah.

     Tepatnya pada 16 Mei 2002.

     Itu adalah momen paling bersejarah yang pernah ada dalam hidupnya. Dia sangat bahagia dimana semua orang bisa menikmati karyanya secara langsung.

     Naskah pertama itu seakan menaruh kesan dan menarik banyak atensi. Mereka berbisik-bisik lalu mengangguk-ngangguk penuh apresiasi.

     Hingga senyum yang begitu lebar remaja tanggung itu perlahan luntur ditelan oleh omongan sarkas salah satu kakak tingkatnya.

     "Kamu menulis puisi itu berlagak seolah hidupmu akan beruntung saja. Dasar naif!"

     Tak seorang pun di rumah tahu baik Seo Mi maupun Evans kalau anak mereka menjerit di antara bantal-bantal yang menyumpal kepalanya.

     Dia terisak bukan main dalam kamar. Melolong bagaikan serigala di kala bulan purnama tiba. Dia pulang membawa omongan hina. Lalu bermonolog tak percaya.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now