Bab 22 - Di Ambang Keputusasaan

44 21 0
                                    

Pagi harinya, setelah sarapan. Budiman dan Joshua tanpa menghabiskan waktu untuk berdiskusi panjang lantas bergegas cabut. Mobil pick up milik Budiman pun meluncur bebas dari kediamannya. Fokus pria renta itu tak terlepas pada jalanan di hadapan. Sementara Joshua duduk di sebelahnya dengan kikuk.

Keheningan pun merayapi mereka beberapa menit.

Pemuda putih pucat itu menoleh ke jendela sampingnya, terlihat cahaya jingga kekuningan naik ke atas cakrawala. Sangat memanjakan mata akan keindahannya sampai Joshua tak sanggup melihat terlalu lama.

"Pak, apa ayah saya pernah berkunjung ke rumah bapak sebelumnya?" tanya Joshua spontan. Mengisi keheningan.

Dia sudah lama ingin menanyakan hal ini sejak mendengar pengakuan Budiman tempo lalu. Namun dia tahan saat itu begitu pria di sebelahnya ternyata sengaja menghindari hal tersebut.

"Sedikitpun beliau nggak pernah berkunjung. Saya malah baru tahu dari kamu beberapa hari lalu kalau beliau ada urusan di sini," jawab pria itu tanpa menyangkal topik lagi.

"Memangnya ayahmu selama itu nggak ada ngabari ke kamu?"

Kali ini Budi yang bertanya, teringat dengan pengakuan Joshua ditinggal tanpa kabar yang jelas selama setahun.

"Nggak ada, Pak. Beliau waktu itu pernah berjanji ngirim surat. Tapi nggak ada satupun surat yang sampai ke rumah."

Kini mobil pick up melewati kawasan Alun-Alun Kidul yang berada di sebelah selatan Keraton Yogyakarta.

Joshua terpana sejenak, melalui jendela dia melihat dua pohon beringin yang masing-masing dipagari sekelilingnya dengan warna putih dan mengapit di tengah lapangan terbuka seluas 150 x 150 meter itu. Di sana tampak pula beberapa orang yang sedang jogging pagi atau sekadar singgah menghirup udara segar.

"Ibu saya juga nggak tahu kenapa dan nggak bicara apa-apa tentang kepulangan beliau sejak saat itu," lanjut Joshua ketika kawasan Alun-Alun Kidul tertinggal di belakang.

Dia kembali menatap lurus ke depan.

Budi menoleh sekilas ke arah Joshua, keheranan. "Waduh ... kok bisa gitu?"

Pemuda itu mengidikkan bahu, "Entahlah, Pak. Waktu pergi ke sini saja, Ibu saya sempat mencegat saya. Katanya nggak perlu. Gimana saya tahu kabarnya kalau nggak coba datangin langsung. Yaudahlah, dengan bermodalkan nekat, saya bisa tiba di sini."

Semenit kemudian, hening kian merayapi.

Kalau percakapan ini terseret lebih jauh dari intinya, melebar kemana-mana, bukan tidak mungkin akan membuat suasana jadi ruwet. Timbul pula rasa tidak enak nantinya. Terbongkar aib ini, terbongkar aib itu. Bisa kacau. Seperti itulah yang dipikirkan Budiman sekarang.

Sesekali pria renta itu mengusap peluh di dahi, ngeri bila membayangkannya.

Tak terasa, mobil pick up itu akhirnya berhenti tepat di depan rumah berpagar cokelat. Nomor 35 tertulis besar di dinding rumah tersebut. Budiman dan Joshua turun dari mobil, menyambangi langsung ke sana. Untungnya pagar rumah tidak terkunci sehingga mereka berdua dapat berjalan masuk.

Secara tiba-tiba seorang wanita keluar dari rumah setelah melihat mereka, dia justru menjerit dengan dahi berlipat-lipat.

"Heh! Siapa yang ngizinkan kalian berdua masuk ke rumah orang?!? Mau apa kalian datang-datang ke sini, heh?!?"

Budiman dan Joshua tersentak.

Budiman lantas berbisik. "Saya nggak tahu kalau ayahmu punya ART galak kayak gitu di rumahnya."

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now